Jakarta,ebcmedia-Kasus Mustarsidin yang melakukan pelecehan seksual terhadap istri seorang tersangka korupsi jual-beli jabatan di Kabupaten Pemalang, sontak membuat publik tercengang. Pasalnya, pelaku merupakan pegawai rumah tahanan (Rutan) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Mustarsidin bahkan melakukan perbuatan asusila terhadap istri tersangka itu sampai tujuh kali. Oknum pegawai Rutan KPK itu memperdayakan korban lantaran takut dengan kondisi suaminya yang sedang ditahan.
Berdasarkan putusan Dewan Pengawas KPK Nomor 01/Dewas/Etik/O4/2023 menyatakan, saksi akhirnya menuruti permintaan Terperiksa untuk memperlihatkan bagian vital saksi karena saksi takut, apabila tidak dituruti, akan berpengaruh dengan suami saksi yang sedang ditahan.
Dalam putusan Dewas KPK, pria berusia 35 tahun itu melakukannya di beberapa tempat, termasuk Rutan KPK di gedung Merah Putih alias Rutan K4, dan tersering dilakukan di rumahnya sendiri.
Anggota Dewas KPK Syamsuddin Haris mengungkapkan, dari pemeriksaan terhadap Mustarsidin, ditemukan juga dugaan adanya perbuatan melawan hukum lain di Rutan KPK, yakni pungutan liar. Pungli itu terungkap setelah seorang saksi dari keluarga korban mengaku pernah mentransfer uang Rp 72,5 juta kepada pegawai rutan. Pengiriman uang dilakukan secara berkala pada periode Agustus-Desember 2022.
Kasus ini dibahas dalam diskusi yang diselenggarakan EBC Media dengan kemasan tema: Badai di KPK: dari Korupsi, Pencabulan, hingga Perselingkuhan” di The East Building, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis sore (13/7/2023).
Salah satu narasumber dari kalangan Aktivis Perempuan, Linda Susanti, mengutarakan, kejadian pelecehan seksual warga binaan yang dilakukan oknum Rutan atau Lapas bukanlah kejadian baru. Namun, sudah sering terjadi sebelum mencuat kasus yang dilakukan oknum pegawai Rutan KPK terhadap istri tersangka jual-beli jabatan di Kabupaten Pemalang.
Sebagai Aktivis Perempuan, wanita yang akrab disapa Oca ini aktif dalam memberikan motivasi kepada warga binaan di setiap lapas atau rutan yang ada di Indonesia.
“Saya sering memberikan motivasi kepada warga binaan di lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia,” kata Oca.
Wanita berkulit putih ini mengutarakan, jika ditemukan kasus pelecehan seksual, umumnya kepala lapas tidak mengetahui perbuatan yang dilakukan oknum anak buahnya.
Kadang, sambungnya, ada juga warga binaan terpaksa melakukan hubungan seksual dengan oknum lapas, lantaran tidak kuasa menerima vonis hukuman yang dirasakan berat dari pengadilan atas perkara yang menderanya.
Padahal, tidak semua warga binaan lapas, seperti pengakuan beberapa tahanan kepada Oca, mereka tidak melakukan perbuatan melanggar hukum, meskipun akhirnya dirinya mendekam di dalam prodeo.
“Sebenarnya banyak warga binaan yang seharusnya diselamatkan, namun tidak terselamatkan,” ujarnya.
Dalam perkara lain, dituturkan Oca, ketika ada warga binaan wanita kali pertama dipaksa melakukan hubungan seksual dengan oknum lapas, dia sempat memberontak. Namun, ketika kejadian hubungan seksual itu dilakukan sampai berulang-ulang, bisa saja ada sesuatu hal yang lain.
“Mungkin ketika kali pertama dipaksa berhubungan seksual, dia memberontak. Namun, ketika perbuatan itu sampai dilakukan berkali-kali, bahkan ada yang mengaku sampai sepuluh kali melakukan hubungan seksual, bisa saja karena memang adanya kebutuhan biologis dari wanita tersebut,” paparnya.
Terhadap mereka yang sudah menjadi warga binaan lapas, Oca mengimbau kepada lembaga pemasyarakatan untuk lebih sering memberikan kegiatan motivasi, pembinaan, edukasi, dan keterampilan kepada warga binaan.
Sepengetahuannya, kegiatan motivasi sudah berkurang dibandingkan beberapa tahun sebelumnya.
“Dulu kegiatan motivasi dilakukan setiap bulan. Sekarang sudah berkurang,” bilang Oca. (Syarif)