Jakarta, ebcmedia – Cara seseorang menghadapi tantangan hidup dapat memengaruhi harapan hidupnya. Penelitian mengungkapkan bahwa menjadi lebih tangguh menghadapi pasang surut kehidupan seiring bertambahnya usia, dapat mengurangi risiko kematian.
Studi tersebut bertajuk “Association between psychological resilience and all-cause mortality in the Health and Retirement Study” dan diterbitkan dalam jurnal BMJ Mental Health Volume 27, Issue
Penelitian ini menunjukkan orang dewasa dengan tingkat ketahanan mental tertinggi memiliki peluang kematian terendah, sehingga mengurangi risiko kematian hingga 53 persen. Peneliti mengumpulkan informasi tentang ketahanan mental dan kondisi kesehatan, dari sebuah penelitian besar terhadap orang dewasa di Amerika Serikat berusia 50 tahun ke atas.
Seiring berjalannya waktu, para ilmuwan mengamati 10.569 orang dewasa selama sekitar 12 tahun atau hingga mereka meninggal.
Pertama, mereka mengukur ketahanan mental mereka dan memberi skor pada skala 0-12 berdasarkan jawaban mereka terhadap kuesioner tentang ketenangan, ketekunan, kepercayaan diri, dan perasaan bahwa pengalaman tertentu harus dihadapi sendirian.
Kemudian, para peneliti membagi peserta menjadi empat kelompok, tergantung pada seberapa tangguh mental mereka. Dibandingkan dengan kelompok dengan ketahanan paling rendah, orang dewasa yang lebih tua dengan ketahanan paling tinggi memiliki kemungkinan 53 persen lebih kecil untuk meninggal dalam 10 tahun ke depan.
Menurut para ilmuwan, ketahanan mental adalah proses aktif yang berubah sepanjang hidup Anda dan dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti jenis kelamin, hormon, dan gen yang mengatur respons stres tubuh. Namun, memiliki makna dalam hidup, emosi positif, dan kepuasan dengan dukungan sosial juga dapat memengaruhi ketahanan mental, jelas mereka.
“Memicu emosi positif ini dapat meningkatkan efek perlindungan ketahanan psikologis dan mengurangi dampak negatif dari akumulasi kesulitan pada kesehatan mental orang dewasa,” kata penulis makalah tersebut, dari Universitas Sun Yat-sen, Tiongkok, dan Institut Karolinska, dikutip dari BBC Science Focus.
(Tim Ebcmedia)