Jakarta, ebcmedia – Lembaga Bantuan Hukum Jakarta mengajukan pendapat tertulis atas kasus Septia Dwi Pertiwi mantan anak buah Jhon LBF yang sebelumnya bekerja di PT HIVE. LBH meminta kepada majelis hakim agar dapat membebaskan Septia yang terjerat UU ITE.
“Sejak 2023 lalu, Septia dilaporkan oleh Jhon LBF, ke Polda Metro Jaya hanya karena menyampaikan fakta mengenai adanya kondisi kerja yang buruk dan berbagai pelanggaran hak normatif yang dialaminya semasa bekerja di PT Hive Five,” kata Direktur LBH Jakarta Fadhil Alfathan dalam keterangan tertulis kepada ebcmesdia, Selasa (17/12/2024) kemarin.
Fadhil menyatakan, proses hukum terhadap Septia terus bergulir hingga akhirnya ke persidangan. Pada 11 Desember 2024 lalu, Septia dituntut hukuman 1 tahun penjara dan denda sebesar Rp 50 juta, subsider 3 bulan kurungan karena dianggap terbukti bersalah melakukan tindak pidana dalam Pasal 27 ayat (3) Jo Pasal 36 Jo Pasal 51 ayat (2) tentang Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
LBH Jakarta menilai, bahwa proses persidangan ini tidak semestinya terjadi. Karena, menurut Fadhil, sejak dalam proses penyidikan hingga persidangan, terjadi serangkaian kesalahan penerapan delik.
Lebih lanjut, dia menegaskan bahwa Septia telah menjadi korban kriminalisasi terhadap ekspresi pribadi yang sebenarnya disampaikan secara sah di ranah digital. Dia memaparkan secara rinci, 4 kesalahan dalam proses persidangan Septia.
Pertama, pernyataan Septia dalam akun Twitter pribadinya bukanlah pendapat dan ekspresi yang dilarang di dalam ketentuan pembatasan hak asasi manusia (HAM), “pernyataan tersebut justru dijamin dan dilindungi oleh berbagai instrumen hukum HAM baik nasional maupun internasional,” ujarnya.
Kedua, Fadhil berpendapat, konstruksi dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) dalam perkara tersebut mengandung kekeliruan yang fatal, khususnya mengenai penerapan delik penghinaan/pencemaran nama baik dan/atau fitnah, yang seharusnya menempatkan orang perseorangan sebagai korban dari delik tersebut.
Dalam berbagai ketentuan maupun doktrin, sambungnya, korban dari delik penghinaan/pencemaran nama baik dan/atau fitnah haruslah orang perseorangan dengan identitas spesifik, bukan institusi, korporasi, profesi, atau jabatan.
“Delik-delik tersebut tidak dapat didakwakan terhadap Septia, karena JPU menempatkan pihak yang menjadi korban adalah Henry Kurnia Adhi alias Jhon LBF dalam jabatan/kedudukannya sebagai Komisaris PT Hive Five,” ucap dia.
Ketiga, pernyataan Septia di akun Twitter pribadinya, menurut Fadhil, dilatarbelakangi oleh situasi dan kondisi yang ia alami sebagai buruh perempuan korban pelanggaran hak normatif.
Sehingga, kata dia, pernyataan tersebut tak lain merupakan wujud pembelaan diri dan kepentingan umum dari praktik korporasi yang melanggar hak buruh.
Fadhil berpandangan, berdasarkan berbagai ketentuan dan doktrin, Septia tidak dapat dipidana, terlebih dalam pernyataan Septia, tidak terdapat pula kesengajaan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan.
Terakhir, Fadhil menambahkan, sebagai buruh perempuan korban pelanggaran hak normatif, tentunya Septia memiliki relasi kuasa yang timpang dengan Pelapor/Saksi yakni Jhon LBF. Pasalnya, Jhon LBF juga merupakan figur publik yang secara umum status sosial-ekonominya dapat dikatakan lebih tinggi ketimbang Septia.
Oleh karenanya, untuk dapat mengikis relasi kuasa tersebut dan demi proses peradilan yang adil, maka menurut Fadhil, Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo wajib menjalankan proses persidangan dengan didasarkan pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
Berdasarkan penjelasan tersebut, LBH Jakarta meminta agar Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk menjatuhkan putusan bebas bagi Septia, guna menghindari proses peradilan yang sesat (miscarriage of justice), serta menjadi penting bagi lembaga peradilan untuk menegaskan kembali posisinya sebagai benteng terakhir bagi pencari keadilan.
Sebelumnya, Septia Dwi Pertiwi dilaporkan oleh pengusaha sekaligus pemilik perusahaan PT Hive Five, Henry Kurnia Adhi alias Jhon LBF, atas tuduhan pencemaran nama baik. Septia mengkritik upah di perusahaan tersebut yang di bawah UMR, upah lembur yang tak dibayar, jam kerja yang melebihi 8 jam, hingga pemotongan gaji sepihak yang dilakukan perusahaan. Kritik itu disampaikan Septia lewat akun media sosial pribadinya.
Septia sendiri sudah ditahan sejak 26 Agustus 2024. Pada Kamis, 3 Oktober 2024, majelis hakim menolak sepenuhnya permohonan eksepsi yang diajukan Tim Advokasi Septia Gugat Negara Abai (Tim Astaga) untuk Septia. Sejak saat itu, Septia telah menjalani berbagai agenda persidangan di pengadilan, mulai dari pemeriksaan saksi dan ahli hingga pembacaan tuntutan.
(Red)