Jakarta, ebcmedia – Sindikasi Pemilu Demokrasi(SPD) merilis buku dengan judul ‘Selamat Datang Otokrasi Pemilu, Kekuasaan, dan Demokrasi’ pada Jumat(20/12/24) di Novotel Jakarta Pusat.

Buku tersebut, disebutkan bahwa secara global, laporan dari lembaga-lembaga seperti Freedom House, V-Dem, EIU, dan International IDEA menunjukkan adanya gelombang otokratisasi yang melanda dunia, termasuk Indonesia.
Namun, di tengah tren global tersebut, skor demokrasi Indonesia versi Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) justru menunjukkan anomali yang tidak sejalan dengan temuan lembaga-lembaga pengukur demokrasi internasional.

Menurut Aqidatul Izza Zain, peneliti Sindikasi Pemilu dan Demokrasi sekaligus ketua tim penulis buku tersebut, pemilu di Indonesia tidak lagi berfungsi sebagai arena kompetisi yang setara tetapi justru menjadi alat untuk memperkokoh kekuasaan.
“Dalam konteks Pilpres 2024, proses kandidasi yang dipolitisasi dan ketidaksetaraan kompetisi menjadi bukti nyata distorsi prinsip-prinsip demokrasi. Hal ini diperparah dengan adanya politisasi birokrasi, mobilisasi aparatur negara, penyalahgunaan sumber daya negara untuk mendukung kandidat tertentu, hingga lemahnya independensi penyelenggara pemilu,” kata Aqidatul.
“Fenomena ini menunjukkan bahwa Indonesia mulai memasuki transisi menuju otokrasi elektoral, di mana pemilu yang seharusnya menjadi instrumen utama demokrasi justru digunakan untuk mengonsolidasikan kekuasaan aktor-aktor dominan. Pilpres 2024, dengan segala keterbatasannya, menjadi titik awal yang mencerminkan konsolidasi otokrasi di Indonesia, menandai ancaman serius bagi demokrasi substantif,” dia menekankan.
Ketua KPU RI, Mochammad Afifuddin, mengatakan pihaknya akan mencermati terkait wacana undang-undang pemilu dan pilkada dijadikan satu. Ia menilai, jika hal itu dilakukan, akan ada pembahasan pula terkait masa akhir jabatan penyelenggara KPU.

“Catatan terakhir saya, sebagian orang mungkin membayangkan mungkin waktu untuk Pileg-Pilpres agak digeser, seperti 2 tahun misalnya gitu. Nah itu tentu berdampak terhadap riset keserentakan yang sudah diputuskan Mahkamah Konstitusi,” kata Afifuddin dalam dialog dan launching buku ‘Selamat Datang Otokrasi: Pemilu, Kekuasaan, dan Kemunduran Demokrasi’, Novotel Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (20/12/2024).
Menurutnya, tingkat partisipasi sebesar 71 persen adalah kabar baik. Ia menyebut jumlah kandidat dalam perhelatan Pilpres ataupun Pilkada yang berbeda juga menjadi pertimbangan.
“Ya tentu daya magnet daya dorong orang datang, dengan jumlah kandidat yang sebanyak di Pilkada dengan pilihan pasti berbeda dengan Pilpres, pasti berbeda,” ungkap Afifuddin.
“Jadi sekarang 71 kalau Pileg, Pilpres kemarin sampai 80-an, ini (pilkada) 71 persen nasionalnya, bahwa Jakarta 57, ada daerah yang 54, tapi banyak juga daerah yang diatas 70, dan ini masih kabar baik,” tambahnya.
Temuan utama buku ini menyoroti penurunan kualitas pemilu di Indonesia, di mana pemilu tidak lagi berfungsi sebagai arena kompetisi yang setara, tetapi justru menjadi alat untuk memperkokoh kekuasaan. Dalam konteks Pilpres 2024, proses kandidasi yang dipolitisasi dan ketidaksetaraan kompetisi menjadi bukti nyata distorsi prinsip-prinsip demokrasi.
Hal ini diperparah dengan adanya politisasi birokrasi, mobilisasi aparatur negara, penyalahgunaan sumber daya negara untuk mendukung kandidat tertentu, hingga lemahnya independensi penyelenggara pemilu.
Fenomena ini menunjukkan bahwa Indonesia mulai memasuki transisi menuju otokrasi elektoral, di mana pemilu yang seharusnya menjadi instrumen utama demokrasi justru digunakan untuk mengonsolidasikan kekuasaan aktor-aktor dominan. Pilpres 2024, dengan segala keterbatasannya, menjadi titik awal yang mencerminkan konsolidasi otokrasi di Indonesia, menandai ancaman serius bagi demokrasi substantif.
(Dhii)