Jakarta, ebcmediaweekend – Indonesia tengah dihadapkan oleh beberapa stigma dari masyarakat yang tengah mempertanyakan kinerja aparat penegak hukum, pasalnya masih banyak masyarakat Indonesia yang sulit mendapatkan keadilan.
Dalam tema ‘Mencari Keadialan‘ ebcmedia telah merangkum beberapa perkara yang tengah menjadi sorotan masyarakat akan integritas para penegak hukum di Indonesia. Pasalnya beberapa masyarakat berpendapat ketika suatu perkara ‘viral’ aparat kepolisian serta anggota dewan baru turun tangan.
Saat ini banyak kasus atau perkara yang dianggap masyarakat kurang adil, mulai dari tuntutan terhadap terdakwa kasus korupsi komoditas timah, penembakan pelajar oleh oknum polisi dan peristiwa pelemparan kursi oleh anak pemilik toko roti, serta penyandang disabilitas tunadaksa yang ditetepkan tersangka atas dugaan kasus pelecehan.
Berbagai komentar muncul mengomentari beragam masalah tersebut, ada yang mengatakan bahwa hukum di indonesia masih tebang pilih, ada juga pendapat masyarakat yang mengatakan bahwa semua tergantung dari ‘atensi‘.
Salah satu kasus yang masih menjadi buah bibir di masyarakat ialah kasus pelemparan kursi terhadap karyawan toko roti di Jakarta Timur, Dwi Ayu Darnawati ia mengaku sempat melaporkan kasus kekerasan ini ke kantor polisi setempat pada Oktober 2024. Namun, laporan tersebut baru ditindaklanjuti secara serius pada Desember 2024, setelah insiden ini viral di media sosial dan memicu tekanan luas dari masyarakat.

Dilansir dari Kantor Berita Antara pada kamis 18 Desember 2024 Kapolres Metro Jakarta Timur Kombes Nicolas Ary Lilipaly sudah meminta maaf ke publik bila pihaknya lambat dalam penanganan dugaan kasus ini.
“Kami mohon maaf. Memang dalam penanganan terkesan lambat atau lama,” kata Nicolas, Dikutip Antara.
Miris memang, tapi hal tersebut juga ditanggapi oleh pengacara kondang Dr. Hotman Paris Hutapea SH..M.Hum dalam pembacaan pleidoi akan kasus dugaan rekayasa jual beli emas PT Antam, Hotman Paris sempat menyampaikan bahwa ‘ No Viral, No Justice’.
Penyampaian itu ia ungkapkan dalam pleidoi kliennya(Budi Said), menurutnya kasus yang menimpa kliennya lebih parah dari ‘No Viral, No Justice‘.

“Ternyata yang dialami Budi Said lebih parah dari ‘No Viral, No Justice’ sebab ‘No Viral, No Justice’ hanya sekedar mencari keadilan ‘Justice’, akan tetapi yang dialami oleh Budi Said lebih parah seharusnya tidak terjadi dinegara hukum,” tegas Hotman.(dikutip ebcmedia, Jumat 20 Desember 2024).
Tak hanya itu, kasus yang juga menghebohkan masyarakat dan menjadi sorotan ialah perkara bebasnya Gregorius Ronald Tannur yang kemudian merembet pada penemuan uang senilai hampir Rp 1 triliun dikediaman Zarof Ricar.

Mulanya pada 23 Oktober 2024, Kejagung menangkap tiga hakim PN Surabaya dan seorang pengacara terkait dugaan suap dalam vonis bebas Ronald Tannur. Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Abdul Qohar mengatakan Kejagung sudah lama memantau tiga hakim.
Beberapa hari setelah Kejagung menangkap tiga hakim dan pengacara Ronald, Kejagung kembali menangkap mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) bernama Zarof Ricar di Jimbaran, Bali. Zarof kemudian ditetapkan tersangka karena diduga terlibat dalam dugaan suap hakim pemvonis bebas Ronald Tannur.
“Ya benar. (Zarof) tadi malam diamankan,” kata Kasipenkum Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali Putu Eka Sabana dilansir detikBali, Jumat (25/10/2024).
Menurut informasi, Zarof turut menerima suap untuk memuluskan vonis bebas Ronald Tannur dalam kasus pembunuhan terhadap Dini Sera. Selain sebagai salah satu pejabat di MA, Zarof juga dikenal sebagai produser film Sang Pengadil.
Lebih lanjut Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mendesak Kejaksaan Agung untuk menyelidiki asal-usul uang senilai triliunan rupiah dan emas batangan yang ditemukan di rumah mantan pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar (ZR). Fickar berpendapat bahwa uang dan emas tersebut kemungkinan besar bukan hanya milik Zarof, melainkan titipan dari pihak lain.
“Kejaksaan Agung harus membongkar karena sangat mustahil uang dan batangan emas yang ada di rumah ZR itu miliknya sendiri. Sangat mungkin itu juga titipan yang belum diambil oleh hakim atau siapapun pejabat publik,” ungkap Fickar Dikutip Kompas.com pada Kamis (19/12/2024).
Lantas dari berbagai kasus diatas benarkah bahwa keadilan di Indoneisa sesuai dengan pendapat masyarakat yang menurut sebagian besar masyarakat mengatakan bahwa “No Viral, No Justice”
(Dhii)
(RedaksiEbcWeekend)