Caleg Terpilih Tidak Bisa Mengundurkan Diri: Menjaga Komitmen atau Melanggar Hak Politik?

oleh
oleh
banner 468x60

Jakarta, ebcmedia – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa calon legislatif (caleg) terpilih tidak dapat mengundurkan diri untuk mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada).

Keputusan ini tertuang dalam putusan Nomor 176/PUU-XXII/2024 yang dibacakan Ketua MK Suhartoyo dalam sidang di Jakarta, Jumat (21/3/2025).

Dalam putusan tersebut, MK mengubah ketentuan dalam Pasal 426 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) dengan status inkonstitusional bersyarat. Artinya, caleg terpilih hanya diperbolehkan mengundurkan diri jika mendapat penugasan dari negara untuk menduduki jabatan yang tidak melalui pemilihan umum, seperti menteri, duta besar, atau pejabat publik lainnya.

Menaggapi hal tersebut, Felia Primaresti, Manajer Riset dan Program TII menyampaikan bahwa menurutnya keputusan MK ini bisa dilihat sebagai langkah maju dalam memperkuat demokrasi yang lebih berintegritas karena mencegah caleg terpilih menjadikan kursinya sebagai batu loncatan ke eksekutif.

Hal ini juga krusial mengingat seharusnya caleg terpilih mengemban amanatnya dan konsisten dengan proses yang sudah dijalaninya. Apalagi, konstituen sudah memilihnya untuk itu. Plus, sebenarnya ketika hal ini terjadi, secara tidak langsung menutup kesempatan kandidat lain yang serius untuk duduk dan bekerja di legislatif.

“Namun, dari sisi hak politik individu, hal ini bisa dianggap sebagai pembatasan karena menghalangi seseorang untuk mencalonkan diri di Pilkada meskipun mungkin mereka punya kapasitas yang baik. Jadi, ini lebih soal “trade-off”, menjaga integritas pemilu vs. memberikan kebebasan politik. Dengan Putusan MK tersebut, artinya penyelenggara Pemilu maupun Pilkada harus mempersiapkan peraturan tutunan yang jelas dan tegas untuk menindaklanjutinya dan mensosialisasikan kepada peserta kontestasi politik nantinya,” ujarnya dalam keterangan tertulis di Jakarta (26/3/2025).

 

Selain itu, Felia juga menyoroti bahwa keputusan ini membuka adanya kemungkinan Pilkada yang akan kehilangan beberapa calon potensial dari legislatif, meski hal ini juga bisa membuka ruang bagi figur-figur baru di luar legislatif untuk tampil.

”Kuncinya, seperti catatan dan rekomendasi riset The Indonesian Institute, penting bagi partai untuk melakukan reformasi internal untuk memperkuat kelembagaannya, termasuk dalam hal kaderisasi dan rekrutmen politik. Dalam hal ini, partai harus serius melakukan menyiapkan kader selain yang sudah tembus di legislatif, agar kualitas calon tetap bisa terjaga. Jika tidak ada mekanisme regenerasi dan kaderisasi, serta rekrutmen kepemimpinan yang baik, dampaknya bisa negatif bagi kompetisi politik lokal,” ungkap Felia.

Lebih jauh, Felia menyampaikan pentingnya para kader yang menjadi kandidat untuk memiliki arah dan karir politik yang jelas lewat kaderisasi yang dilakukan partai politik. Misalnya, dalam hal keikutsertaan dan komitmen dalam kontestasi politik. Akan tidak elok juga mengundurkan diri di tengah jalan saat sudah terpilih dan seharusnya berkomitmen sebagai legislator, serta terkesan ‘coba-coba saja’ dan pragmatis semata dalam kontestasi politik.

Terakhir, Felia mengatakan bahwa untuk menyeimbangkan antara menjaga integritas pemilu dan menjaga kebebasan politik warga, harus ada alternatif atau mekanisme yang mengakomodir hal tersebut. ”Misalnya, jika seorang caleg terpilih ingin maju di Pilkada, mereka harus mundur dengan sanksi tertentu (seperti denda atau larangan mencalonkan diri dalam periode tertentu jika kalah). Namun, mekanismenya juga harus dipikirkan agar jelas, tegas, dan efektif. Hal ini bisa menyeimbangkan antara menjaga komitmen legislator dan tetap memberikan ruang bagi hak politik mereka.” tutup Felia.

(AR)

No More Posts Available.

No more pages to load.