Komnas Perempuan Kecam Femisida Jurnalis J: Negara Harus Bangun Mekanisme Pencegahan

oleh
oleh
Foto : Antara
banner 468x60

Jakarta, ebcmedia – Komnas Perempuan mengecam keras kasus dugaan femisida atau kejahatan kebencian berbasis jenis kelamin, terhadap jurnalis berinisial J yang ditemukan tewas pada Sabtu (22/3/2025) di Banjarbaru, Kalimantan Selatan.

Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor, menyatakan, bahwa kematian J termasuk kategori femisida intim dan menunjukkan eskalasi kekerasan berbasis gender.

“Komnas Perempuan menyampaikan duka cita mendalam kepada keluarga korban. Kami mengkategorikan kematian jurnalis J sebagai femisida karena adanya dugaan pembunuhan yang dilatari relasi intim, ketimpangan kuasa, dan kekerasan seksual berulang yang dialami korban sebelumnya,” tutur Maria Ulfah dalam keterangan tertulis yang di terima ebcmedia, Senin (7/4/2025).

Korban J Dibunuh Calon Suaminya

Ia menjelaskan, korban J diduga dibunuh oleh calon suaminya sendiri, seorang prajurit TNI Angkatan Laut (AL) berpangkat Kelasi I bernama Jumran.

Komnas Perempuan menyebut, bahwa kasus ini menambah daftar panjang femisida intim, yang pelakunya berasal dari lingkungan terdekat korban.

“Femisida intim menggambarkan superioritas, dominasi, agresi, hingga rasa memiliki terhadap perempuan. Ini bentuk kekerasan berbasis gender yang sangat berbahaya dan minim dikenali,” ujarnya.

Komnas Perempuan mencatat bahwa sepanjang 2024, terdapat 185 kasus femisida di ranah privat dan 105 kasus di ranah publik berdasarkan pemberitaan media. Namun, lemahnya pendataan negara membuat banyak kasus femisida tak teridentifikasi dengan tepat.

“Negara belum memiliki data terpilah yang mengenali motif dan modus kekerasan berbasis gender yang menyebabkan kematian. Padahal ini penting untuk pemberatan hukuman terhadap pelaku,” ungkap Maria Ulfah.

Peradilan Militer Harus Transparan & Adil

Dalam kasus J, ia juga menyoroti proses hukum yang sedang berjalan di peradilan militer. Komnas Perempuan menuntut pengadilan berlangsung secara transparan dan adil.

“Meski pelaku adalah anggota TNI aktif, hukum pidana umum harus tetap ditegakkan. Pasal 65 UU TNI dan TAP MPR Nomor VII/MPR/2000 sudah mengatur hal itu,” kata dia.

Oleh sebabnya, Komnas Perempuan pun mendorong Presiden Prabowo, segera membentuk mekanisme nasional “femicide watch” serta mendesak Panglima TNI, Mahkamah Agung, hingga Kementerian Hukum dan HAM ikut terlibat dalam mencegah impunitas atas kekerasan terhadap perempuan, khususnya pembela HAM.

“Negara harus membangun sistem pencegahan dan pendeteksian dini terhadap kekerasan berbasis gender yang berujung kematian,” tutup Komisioner Perempuan itu.

(Red)

No More Posts Available.

No more pages to load.