Judicial Review ke MK, Pakar Hukum Tata Negara: Zakat Hak Komunal Umat Islam, Bukan Negara

oleh
oleh
banner 468x60

Jakarta, ebcmedia – Ahli Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Qurrata Ayuni, menjadi Ahli yang dihadirkan Pemohon Perkara Nomor 97/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (UU Pengelolaan Zakat). Menurut Ayuni, pengelolaan zakat merupakan hak konstitusi komunal (hak bersama) umat Islam, bukan negara sebagaimana ditentukan dalam UU 23/2011.

“Karena zakat itu adalah hak asasi umat beragama, bukan individu, tetapi hak komunal kita sebagai umat Islam untuk menjaga zakat ini sebagai haknya umat Islam,” kata Ayuni dalam sidang pleno dengan agenda Mendengar Keterangan Ahli Pemohon perkara tersebut di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Selasa (22/4/2025).

Ahli Hukum Dompet Dhuafa itu mengatakan, pembentukan undang-undang menggunakan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 sebagai landasan untuk merancang UU Pengeloaan Zakat. Pasal 34 dimaksud mengatur tentang kesejahteraan sosial, khususnya terkait pemeliharaan fakir miskin dan anak-anak terlantar, pengembangan sistem jaminan sosial, dan tanggung jawab negara atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan umum yang layak.

Namun, dia khawatir, negara menggunakan Pasal 34 UUD 1945 tersebut untuk merasa bisa mengelola zakat. Padahal, kata Ayuni, keberadaan pengelolaan zakat yang nilainya sangat besar perlu untuk kembali didudukkan dalam posisinya untuk dikembalikan sebagai hak pengelolaan umat beragama agar tidak disalahgunakan sebagai instrumen fiskal negara.

“Kekhawatiran saya penggunaan Pasal 34 UUD 1945 ini menjadikan negara menjadi merasa qualified untuk menggunakan zakat atas nama negara. Padahal ini hak komunal masyarakat Islam,” ucap Ayuni.

Dia menjelaskan, pengelolaan zakat mestinya mencerminkan kebebasan umat Islam untuk menunaikan ibadah sesuai pemahamannya masing-masing, termasuk dalam memilih kepada siapa zakat itu dititipkan. Ketika negara melalui UU 23/2011 membentuk Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) sebagai satu-satunya lembaga resmi dengan fungsi regulatif, operasional, sekaligus pengawasan terhadap zakat, maka hal tersebut telah menciptakan posisi negara yang dominan secara kelembagaan dan substantif dalam ibadah zakat. Negara bukan lagi sekadar penyusun kebijakan, tetapi berubah menjadi pemegang otoritas tunggal.

Ayuni menyebut, hal tersebut bentuk nyata dari state overreach. Ciri-ciri dari state overreach ini tampak dalam beberapa hal. Pertama, negara memonopoli fungsi sosial-keagamaan dengan menjadikan BAZNAS sebagai satu-satunya otoritas, sementara peran lembaga masyarakat seperti LAZ direduksi atau diarahkan menjadi subordinat negara. Kedua, kata dia, peran masyarakat sipil sebagai pelaksana utama zakat secara tradisional dikerdilkan dan dibatasi melalui regulasi, izin, dan sanksi administratif.

Ketiga, lanjut Ayuni, negara mengatur pelaksanaan zakat seolah-olah itu adalah domain fiskal administratif yang tunduk pada logika birokrasi pemerintahan, padahal zakat bukan pajak, melainkan ekspresi kegiatan ibadah. Keempat, terjadi konflik kepentingan dalam struktur BAZNAS yang mengatur, menjalankan, dan mengawasi dirinya sendiri, yang merusak prinsip tata kelola demokratis.

Dalam konteks pengelolaan zakat, Ayuni mengatakan, negara dapat mengeklaim bahwa penetapan BAZNAS sebagai satu-satunya lembaga yang sah bertujuan untuk memastikan akuntabilitas, mencegah korupsi, atau menjamin efektivitas distribusi dana umat. Alasan-alasan ini pada dasarnya bisa masuk dalam kategori tujuan sah, selama tidak disertai dengan niat atau efek membatasi ekspresi keagamaan umat.

Selain itu, tujuan sah harus bersifat publik dan terbuka untuk diuji secara rasional dan empirik, bukan semata didasarkan pada asumsi keamanan, kekhawatiran ideologis, atau motif homogenisasi. Misalnya, bila negara berdalih bahwa banyak LAZ yang tidak transparan, maka solusinya bukan melarang semua LAZ dan mengambil alih pengelolaan zakat, melainkan memperbaiki tata kelola dan memperkuat sistem pengawasan.

Oleh karena itu, tujuan untuk “menghilangkan fragmentasi sosial keagamaan’ atau ‘mempersatukan umat di bawah satu institusi negara’, walau terdengar mulia, sebetulnya bertentangan dengan prinsip pluralisme dan kebebasan beragama yang diakui oleh UUD 1945 (Pasal 28E, Pasal 29 ayat (2)) dan prinsip subsidiaritas dalam tata kelola sosial.

Lebih lanjut, Pakar Hukum Tata Negara itu menyebut, legitimasi suatu tujuan juga ditentukan oleh ketulusannya (bona fide objective). Bila tujuan yang dikemukakan hanyalah justifikasi formal untuk menyamarkan maksud mengonsolidasikan kekuasaan, misalnya menjadikan Baznas sebagai perpanjangan tangan fiskal negara, maka tujuan itu tidak sah, meskipun secara sepintas seolah berada dalam kategori kepentingan umum.

Maka, kata Ayuni, kesimpulannya, tujuan negara dalam pengelolaan zakat hanya bisa dinilai sah jika tidak mencampuri aspek teologis dan ekspresi keagamaan, tidak menimbulkan penghapusan atas partisipasi masyarakat sipil, dan tidak menyamarkan intensi kekuasaan negara dengan retorika perlindungan publik. Bila ditemukan bahwa alasan yang dikemukakan hanya bersifat administratif namun berdampak pada penghapusan hak konstitusional, maka tujuan tersebut patut dipertanyakan keabsahannya dalam kerangka prinsip proporsionalitas.

(Red)

No More Posts Available.

No more pages to load.