Kejagung & Dewan Pers Sepakat Hormati Wewenang Masing-masing Ihwal Kasus Direktur JAK TV

oleh
oleh
banner 468x60

Jakarta, ebcmedia – Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum), Harli Siregar, bersama Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, menggelar konferensi pers bersama di Kantor Kejaksaan Agung, Jakarta, pada Selasa kemarin.

Pertemuan ini membahas sejumlah isu penting, termasuk sinergi kelembagaan dan penanganan perkara hukum yang melibatkan Direktur Pemberitaan JAK TV.

Penanganan Perkara Tak Terkait Produk Jurnalistik

“Rekan-rekan media, seperti kita ketahui bersama, tentu dalam pertemuan ini ada banyak hal yang dibicarakan baik terkait dengan penanganan perkara, rencana aksi ke depan, maupun perjanjian kerja sama antara Kejaksaan dan Dewan Pers,” ujar Harli dalam keterangan tertulis, Selasa (22/4/2025).

Ia menyatakan, bahwa perkara yang sedang ditangani oleh Kejaksaan Agung tidak berkaitan dengan produk jurnalistik.

“Perbuatan yang dipersangkakan kepada yang bersangkutan itu adalah perbuatan personal, yang tidak terkait dengan media. Itu tegas,” ungkapnya.
Harli juga menyampaikan, bahwa kritik dari media tidak menjadi persoalan.

“Yang dipersoalkan adalah tindak pidana permufakatan jahat antar pihak-pihak ini, sehingga melakukan perintangan terhadap proses hukum yang sedang berjalan. Ada rekayasa di situ,” terang Kapuspenkum.

Dewan Pers Tekankan Profesionalisme Pers

Sementara itu, Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu, menyatakan, bahwa kunjungan ke Kejaksaan Agung ini sudah direncanakan sebelumnya sebagai bagian dari agenda akhir masa jabatan Dewan Pers periode 2022-2025.

Namun, isu yang berkembang turut menjadi bagian dari pembahasan.

“Kami tidak ingin menjadi lembaga yang cawe-cawe terhadap proses hukum. Tetapi, untuk menilai apakah sebuah karya pemberitaan masuk kategori jurnalistik atau tidak, itu adalah kewenangan etik Dewan Pers sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999,” jelas Ninik.

Ia pun menambahkan, bahwa Dewan Pers akan fokus menilai dua aspek penting dalam kasus ini, yakni kualitas pemberitaan dan perilaku jurnalis.

“Pers itu memerlukan dua hal yang harus berjalan seiring: perusahaan persnya profesional, dan jurnalisnya juga profesional. Artinya bekerja secara demokratis, tidak mencampuradukkan antara opini dengan fakta, gak minta-minta duit, gak nyuap, dan menggunakan asas praduga tak bersalah,” paparnya.

Lebih lanjut, baik Kejagung maupun Dewan Pers menekankan komitmen untuk saling menghormati ruang lingkup dan kewenangan masing-masing.

“Dewan Pers sangat menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Dan kami juga menyampaikan kepada Dewan Pers bahwa terkait proses etik dan penilaian terhadap karya jurnalistik, kami menghormati Dewan Pers melakukan itu,” pungkas Harli.

Sebelumnya, Direktur Penyidikan (Dirdik) Jampidsus Kejaksaan Agung (Kejagung), Abdul Qohar, mengungkapkan penetapan tiga tersangka dalam kasus perintangan penyidikan maupun penuntutan (obstruction of justice).

Ketiga tersangka itu adalah Marcella Santoso (MS) selalu advokat, Junaedi Saibih (JS) selalu dosen dan advokat, serta Tian Bahtiar (TB) selalu Direktur Pemberitaan Jak TV.

“Hari ini penyidik menetapkan tiga tersangka dalam perkara suap penanganan perkara. MS, JS, dan TB resmi menjadi tersangka setelah diperiksa sebagai saksi dan ditemukan bukti permufakatan jahat yang mereka lakukan,” ujar Abdul Qohar saat konferensi pers di Kejagung, Selasa (22/4/2025) dini hari.

3 Tersangka Sengaja Mengganggu Proses Hukum

Qohar menjelaskan, ketiganya diduga sengaja mengganggu proses hukum dalam perkara korupsi tata niaga timah, dan importasi gula atas nama Tersangka Tom Lembong, serta pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO).

“MS dan JS membayar TB sebesar Rp 478.500.000 untuk menyebarkan berita-berita dan konten-konten negatif yang menyudutkan kejaksaan. Tujuannya jelas, membentuk opini negatif agar proses hukum terganggu atau bahkan dihentikan,” terangnya.

Menurut Qohar, TB mempublikasikan narasi negatif di media sosial, media online, hingga melalui siaran resmi Jak TV.

Bahkan, kata dia, konten yang diproduksi melibatkan seminar, podcast, demonstrasi, hingga diskusi di kampus-kampus.

“Jadi tujuan mereka jelas dengan membentuk opini negatif, seolah yang ditangani penyidik tidak benar, mengganggu konsentrasi penyidik, sehingga diharapkan, atau harapan mereka perkaranya dapat dibebaskan atau minimal mengganggu konsentrasi penyidikan,” tutup Qohar.

(Dhii/Nnh)

No More Posts Available.

No more pages to load.