Jakarta, ebcmedia – Pakar hukum Hendry Julian Noor mengingatkan adanya penyimpangan serius dalam penggunaan pasal-pasal korupsi, terutama Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Dalam banyak kasus, aparat penegak hukum kerap memperluas tafsir unsur “melawan hukum” dan “merugikan keuangan negara,” sehingga tidak jarang menyeret tindakan administratif biasa ke ranah pidana.
Dalam artikelnya, Hendry menyoroti kasus Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan, yang dijerat dalam kasus impor gula tahun 2015–2016. Meski dugaan kerugian negara mencapai Rp700 miliar, Hendry menilai perlu dibedakan mana yang benar-benar merupakan pelanggaran pidana dan mana yang hanya kesalahan administratif atau kebijakan.
Tafsir Bebas Mengancam Keadilan
Hendry menjelaskan bahwa unsur “melawan hukum” seharusnya tidak diartikan sekadar pelanggaran aturan administratif. Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016, kerugian negara yang dimaksud adalah kerugian nyata dan pasti, bukan potensi atau hitungan spekulatif.
Ia juga menyoroti bahwa aparat penegak hukum sering mencampuradukkan pelanggaran administratif (seperti kesalahan prosedur atau pengambilan keputusan yang salah) dengan tindak pidana korupsi. Padahal, menurut prinsip hukum pidana, pemidanaan harus mempertimbangkan unsur “reasonableness” atau kewajaran.
Risiko Jadi Alat Politik
Hendry mengatakan bahwa pasal-pasal korupsi yang multitafsir bisa menjadi senjata politik untuk menekan lawan atau kelompok tertentu. Alih-alih memberantas korupsi secara efektif, praktik ini justru melemahkan kepercayaan publik pada hukum.
Selain itu, Hendry menegaskan pentingnya membedakan antara kerugian negara yang diakibatkan niat jahat (mens rea) dengan kesalahan administratif yang bisa diselesaikan melalui mekanisme lain, seperti hukum perdata atau administrasi.
Dorongan Reformasi Hukum
Sebagai penutup, Hendry menyerukan perlunya pembaruan praktik hukum agar pemberantasan korupsi benar-benar tepat sasaran. Menurutnya, hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu, tetapi juga tidak disalahgunakan untuk kepentingan di luar hukum.
“Tidak ada aparat penegak hukum yang kebal dari kritik, karena bagaimana pun hukum bekerja akan dinilai oleh publik,” tegas Hendry.
(Dhii)