Jakarta, ebcmedia – Analis Komunikasi Politik Hendri Satrio (Hensa) melihat, terdapat beberapa kemiripan gaya kepemimpinan antara Presiden ke-7 Joko Widodo dengan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi.
“Keduanya memiliki kemiripan dalam hal memikat hati rakyat, mulai dari memanfaatkan drama hingga pendekatan kebijakan yang cenderung populis,” tutur Hensa dalam keterangan tertulis, Jumat (9/5/2025).
Pahami Seni Bercerita dan Sinetron Sebagai Alat Politik
Ia menilai, baik Jokowi dan Dedi Mulyadi piawai dalam memainkan seni bercerita, dalam arti cerita-cerita yang mereka sajikan, baik melalui pidato hingga konten di media sosial, selalu punya daya tarik yang membuat publik terpikat.
“Kesamaan Jokowi dan Dedi Mulyadi adalah satu, memanfaatkan kesenangan atau hobinya sebagian masyarakat Indonesia, yaitu nonton drama dan sandiwara. Dan sinetron, drama, sandiwara ini dimanfaatkan betul. Jadi selalu ada storytelling (cerita) yang disampaikan oleh Jokowi dan Dedi Mulyadi,” ungkapnya.
Gestur Populis & Gaya Santai Jadi Pembeda
Hensa mengungkapkan, keduanya juga dikenal sebagai figur yang mengedepankan populisme.
Ia berpendapat, aksi dan gestur Jokowi dan Dedi di hadapan publik seperti sudah dirancang untuk menyasar masyarakat kecil.
“Keduanya pun terlihat sama-sama mengedepankan hal-hal populis untuk mendapatkan simpati rakyat,” ujar Hensa.
Hensa pun melihat, bahwa keduanya kerap tampil lebih santai, sehingga menjadi pembeda dari pendahulu-pendahulunya yang cenderung kaku dan birokratis.
“Dan selain itu, keduanya banyak melakukan perbedaan-perbedaan dengan pejabat sebelumnya. Dari segi penampilan hingga gaya komunikasi, jadi keduanya diuntungkan karena pejabat sebelumnya yang lebih birokratis, lebih kaku, ini lebih santai,” kata dia.
Dekat dengan Rakyat, Efek Program Lebih Terasa
Tak kalah penting, Hensa menyebutkan, keduanya lebih mengutamakan kedekatan yang nyata dengan rakyat ketimbang proyek-proyek abstrak.
Kemudian, program-program seperti infrastruktur yang dibangun oleh Jokowi atau pemberdayaan desa yang dilakukan Dedi.
Yakni, terlihat lebih memiliki efek yang langsung dirasakan ke masyarakat.
“Baik Jokowi maupun Dedi Mulyadi lebih mengutamakan kedekatan yang lebih real ke rakyat. Jadi program-programnya juga banyak yang terlihat daripada yang sifatnya pembangunan karakter,” imbuh Hensa.
Meski begitu, kata Hensa, gaya kepemimpinan seperti ini bukannya tanpa kritik.
Ia mengatakan, pendekatan populis rawan mengesampingkan visi jangka panjang, atau narasi drama yang berlebihan bisa mengaburkan substansi.
“Namun, tak bisa dihindari, formula yang dijalankan Jokowi dan Dedi Mulyadi terbukti efektif menjaga dukungan publik, dan kemampuan mereka untuk tetap “nyambung” dengan rakyat menjadi pelajaran tersendiri,” pungkasnya.
(Red/Nnh)