Jakarta, ebcmedia – Lisa Rahmat, terdakwa dalam kasus dugaan suap terhadap majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang menangani perkara pembunuhan Ronal Tanur, menghadapi tuntutan 14 tahun penjara. Namun, fakta persidangan menunjukkan bahwa tuntutan tersebut didasarkan hanya pada bukti chat WhatsApp dan catatan pribadi, tanpa adanya dua alat bukti yang sah sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 183 KUHAP.
Dalam perkara ini, Lisa Rahmat didakwa melakukan dua hal: memberikan suap kepada tiga hakim PN Surabaya serta melakukan permufakatan jahat bersama Jarof Ricar dalam penanganan kasasi Ronal Tanur di Mahkamah Agung.
Fakta persidangan mengungkap bahwa kasus ini tidak bermula dari operasi tangkap tangan. Sebaliknya, penangkapan, penggeledahan, dan penyitaan dilakukan beberapa bulan setelah dugaan tindak pidana terjadi, tanpa prosedur hukum yang sah. Penasehat hukum Lisa Rahmat menyebut hal ini sebagai cacat prosedural karena tidak diawali dengan surat perintah penyelidikan dan penyidikan sebagaimana diatur dalam KUHAP.
Dalam persidangan, diketahui bahwa satu-satunya dasar tuntutan terhadap Lisa Rahmat adalah bukti permulaan berupa catatan dan percakapan WhatsApp dari barang bukti yang disita penyidik. Ahli pidana yang dihadirkan oleh tim pembela menyatakan bahwa bukti permulaan tidak dapat berdiri sendiri, melainkan harus didukung minimal dua alat bukti utama yang sah seperti diatur dalam Pasal 184 KUHAP.
Ahli juga menegaskan bahwa jika proses hukum dimulai tanpa prosedur yang sah, maka seluruh proses selanjutnya menjadi tidak sah secara hukum. Termasuk jika seorang terdakwa divonis bersalah berdasarkan proses hukum yang cacat, vonis tersebut bisa dikualifikasi sebagai batal demi hukum.
Seluruh saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum dalam persidangan mengaku tidak mengetahui secara langsung adanya tindakan suap yang dilakukan Lisa Rahmat. Tidak ada satu pun dari lima alat bukti sah menurut KUHAP—saksi, surat, keterangan ahli, petunjuk, dan pengakuan—yang secara tegas menunjukkan bahwa Lisa Rahmat memberikan suap kepada tiga hakim yang dimaksud.
Salah satu hakim yang disebut menerima suap, Erintua Damanik, awalnya dalam BAP tidak mengaku menerima uang dari Lisa Rahmat. Namun, ia kemudian mengubah keterangannya setelah dipindahkan ke ruang tahanan yang lebih nyaman. Hal ini memunculkan keraguan mengenai keabsahan kesaksiannya. Selain itu, Damanik juga merupakan terdakwa, sehingga keterangannya tidak dapat digunakan untuk menjerat terdakwa lain, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Lebih lanjut, tuduhan permufakatan jahat dalam penanganan kasasi di MA dinilai tidak memenuhi unsur tindak pidana. Hal ini karena Lisa Rahmat dan Jarof Ricar bukan penyelenggara negara atau pegawai negeri yang memiliki kewenangan untuk menyalahgunakan jabatan, sebagaimana disyaratkan dalam pasal-pasal terkait di UU Tipikor.
Pasal 183 KUHAP menegaskan bahwa hakim hanya dapat menjatuhkan pidana jika terdapat sekurang-kurangnya dua alat bukti sah yang membuktikan bahwa terdakwa benar-benar melakukan tindak pidana. Berdasarkan fakta persidangan, tuntutan terhadap Lisa Rahmat dinilai bertentangan dengan prinsip dasar hukum pidana tersebut.
Penasehat hukum Lisa Rahmat, Andi Syarifuddin, menegaskan bahwa tidak ada satu pun fakta yuridis yang membuktikan bahwa kliennya bersalah.
“Tuntutan dan vonis yang menyatakan ‘sah dan meyakinkan bersalah’ tanpa dua alat bukti sah adalah pelanggaran terhadap prinsip keadilan dan kepastian hukum,” tegasnya.
Ia juga mengkritik tuntutan yang diperberat hanya karena Lisa Rahmat dianggap tidak kooperatif selama persidangan.
“Penjatuhan hukuman seharusnya didasarkan pada bukti hukum, bukan sikap pribadi terdakwa di ruang sidang,” ujarnya.
Atas dasar itu, tim kuasa hukum mendesak majelis hakim untuk membebaskan Lisa Rahmat dari segala tuntutan hukum dan menjatuhkan putusan bebas.
(Kis)