Peneliti: Reformasi Polri Mendesak, Harus Ditempatkan di Bawah Kementerian Sipil Jakarta, 31 Mei 2025 — Peneliti dari Prolog Initiatives, Rahman Azhar, menyatakan bahwa reformasi terhadap Kepolisian Republik Indonesia (Polri) harus segera dilakukan dengan menekankan penguatan kontrol kelembagaan dan pembatasan kewenangan mutlak. Menurutnya, langkah ini penting untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) di sektor penegakan hukum. “Salah satu solusi konkret adalah menempatkan Polri di bawah kementerian sipil, seperti Kementerian Dalam Negeri atau Kementerian Hukum dan HAM,” ujar Rahman dalam keterangannya, Sabtu (31/5). Rahman menyoroti berbagai kritik tajam dari masyarakat, akademisi, dan lembaga negara yang mengindikasikan krisis dalam institusi kepolisian. Ia menyebutkan sejumlah kasus yang menjadi indikator kegagalan sistemik reformasi Polri, seperti pembunuhan Brigadir J oleh Irjen Ferdy Sambo, kasus narkoba yang melibatkan Irjen Teddy Minahasa, serta intimidasi terhadap jaksa dalam kasus timah senilai Rp271 triliun. “Permasalahan Polri bukan semata perilaku individu, melainkan desain kelembagaan yang tidak sesuai dengan prinsip tata kelola demokratis,” kata Rahman. Ia juga menilai posisi Polri yang langsung berada di bawah presiden menyebabkan lemahnya pengawasan institusional. Kondisi ini membuka ruang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan resistensi terhadap akuntabilitas publik. Rahman mengkritik Rancangan Undang-Undang (RUU) Polri yang dinilainya berpotensi memperluas kewenangan secara berlebihan. Menurutnya, perluasan itu bisa menyaingi dan bahkan menggerus fungsi kelembagaan lain seperti Kejaksaan, TNI, BIN, dan BSSN. “Jika tidak dikontrol, Polri bisa menjadi superbody—lembaga tunggal dengan kewenangan intelijen, penegakan hukum, keamanan nasional, dan kekuasaan politik,” ujarnya. Rahman juga menyoroti keberadaan 488 perwira aktif Polri yang menempati posisi di berbagai kementerian dan lembaga sebagai bentuk ekspansi kekuasaan birokratis Polri. Menurut Rahman, dalam sistem negara demokrasi modern, tidak ada satu pun institusi yang boleh memegang kekuasaan tanpa pengawasan. Ia menegaskan pentingnya model pengawasan sipil terhadap institusi koersif seperti yang diterapkan di negara-negara demokratis maju, termasuk Jerman, Jepang, Australia, dan Prancis. “Pengalaman mereka menunjukkan bahwa kontrol sipil bukan pelemahan, tetapi penguatan legitimasi dan akuntabilitas,” tegasnya. Untuk itu, Prolog Initiatives mengajukan empat rekomendasi utama: 1. Menempatkan Polri di bawah kementerian sipil guna menjamin pengawasan dan akuntabilitas. 2. Membatasi kewenangan Polri hanya pada aspek keamanan dan ketertiban masyarakat sesuai Pasal 30 UUD 1945. 3. Memperjelas pembagian fungsi penegakan hukum antar-lembaga untuk mencegah konsentrasi kekuasaan. 4. Mengkritisi secara ketat RUU Polri agar tidak bertentangan dengan prinsip checks and balances dalam demokrasi. “Jika reformasi struktural tidak dilakukan, kita menghadapi risiko jangka panjang: menguatnya lembaga koersif tanpa kontrol yang dapat mengancam demokrasi,” pungkas Rahman.

oleh
oleh
banner 468x60

Jakarta, ebcmedia – Peneliti dari Prolog Initiatives, Rahman Azhar, menyatakan bahwa reformasi terhadap Kepolisian Republik Indonesia (Polri) harus segera dilakukan dengan menekankan penguatan kontrol kelembagaan dan pembatasan kewenangan mutlak. Menurutnya, langkah ini penting untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) di sektor penegakan hukum.

“Salah satu solusi konkret adalah menempatkan Polri di bawah kementerian sipil, seperti Kementerian Dalam Negeri atau Kementerian Hukum dan HAM,” ujar Rahman dalam keterangannya, Sabtu (31/5/2025).

Rahman menyoroti berbagai kritik tajam dari masyarakat, akademisi, dan lembaga negara yang mengindikasikan krisis dalam institusi kepolisian. Ia menyebutkan sejumlah kasus yang menjadi indikator kegagalan sistemik reformasi Polri, seperti pembunuhan Brigadir J oleh Irjen Ferdy Sambo, kasus narkoba yang melibatkan Irjen Teddy Minahasa, serta intimidasi terhadap jaksa dalam kasus timah senilai Rp271 triliun.

“Permasalahan Polri bukan semata perilaku individu, melainkan desain kelembagaan yang tidak sesuai dengan prinsip tata kelola demokratis,” kata Rahman.

Ia juga menilai posisi Polri yang langsung berada di bawah presiden menyebabkan lemahnya pengawasan institusional. Kondisi ini membuka ruang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan resistensi terhadap akuntabilitas publik.

Rahman mengkritik Rancangan Undang-Undang (RUU) Polri yang dinilainya berpotensi memperluas kewenangan secara berlebihan. Menurutnya, perluasan itu bisa menyaingi dan bahkan menggerus fungsi kelembagaan lain seperti Kejaksaan, TNI, BIN, dan BSSN.

“Jika tidak dikontrol, Polri bisa menjadi superbody—lembaga tunggal dengan kewenangan intelijen, penegakan hukum, keamanan nasional, dan kekuasaan politik,” ujarnya.

Rahman juga menyoroti keberadaan 488 perwira aktif Polri yang menempati posisi di berbagai kementerian dan lembaga sebagai bentuk ekspansi kekuasaan birokratis Polri.

Menurut Rahman, dalam sistem negara demokrasi modern, tidak ada satu pun institusi yang boleh memegang kekuasaan tanpa pengawasan. Ia menegaskan pentingnya model pengawasan sipil terhadap institusi koersif seperti yang diterapkan di negara-negara demokratis maju, termasuk Jerman, Jepang, Australia, dan Prancis.

“Pengalaman mereka menunjukkan bahwa kontrol sipil bukan pelemahan, tetapi penguatan legitimasi dan akuntabilitas,” tegasnya.

Untuk itu, Prolog Initiatives mengajukan empat rekomendasi utama:

1. Menempatkan Polri di bawah kementerian sipil guna menjamin pengawasan dan akuntabilitas.

2. Membatasi kewenangan Polri hanya pada aspek keamanan dan ketertiban masyarakat sesuai Pasal 30 UUD 1945.

3. Memperjelas pembagian fungsi penegakan hukum antar-lembaga untuk mencegah konsentrasi kekuasaan.

4. Mengkritisi secara ketat RUU Polri agar tidak bertentangan dengan prinsip checks and balances dalam demokrasi.

“Jika reformasi struktural tidak dilakukan, kita menghadapi risiko jangka panjang: menguatnya lembaga koersif tanpa kontrol yang dapat mengancam demokrasi,” pungkas Rahman.

(Red)

 

No More Posts Available.

No more pages to load.