Jakarta, ebcmedia.id – Keputusan Presiden Prabowo Subianto dalam memberikan abolisi dan amnesti kepada sejumlah tokoh nasional, seperti Hasto Kristiyanto dan Thomas Lembong, mendapat perhatian luas dari masyarakat. Langkah ini dipandang sebagai wujud keberanian politik Presiden dalam menangani persoalan hukum yang memiliki dimensi politis. Namun, di tengah sorotan atas kebebasan yang diberikan kepada dua tokoh tersebut, muncul pertanyaan penting mengenai keterbukaan informasi terkait daftar penerima abolisi dan amnesti lainnya.
Sampai saat ini, pemerintah belum secara resmi mengumumkan daftar lengkap yang berisi 1.116 nama penerima abolisi dan amnesti yang telah disetujui melalui Keputusan Presiden (Keppres). Kondisi ini menimbulkan keprihatinan dari berbagai kalangan, termasuk komunitas hukum dan pengamat kebijakan publik.
Salah satu yang menyampaikan harapan akan pentingnya transparansi adalah Karina Mastha, S.H., M.H., seorang advokat yang dalam pernyataannya kepada ebcmedia menegaskan bahwa pihaknya telah mendatangi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) serta Mahkamah Agung untuk memperoleh data nama-nama penerima abolisi dan amnesti tersebut.
“Kami memandang sangat penting bagi publik untuk mendapatkan informasi yang jelas mengenai siapa saja yang menerima abolisi dan amnesti. Hal ini merupakan bagian dari akuntabilitas pemerintah serta keadilan bagi seluruh warga negara yang terkait dengan persoalan hukum,” ujar Karina Mastha, Senin (4/8/2025).
Karina juga menegaskan bahwa kebijakan Presiden dalam memberikan abolisi dan amnesti seyogianya diikuti dengan keterbukaan prosedural dan pertanggungjawaban kepada publik. Ia mengungkapkan rasa prihatin atas belum adanya tanggapan resmi dari Kemenkumham maupun Mahkamah Agung terkait permohonan informasi tersebut.
“Kami tidak bermaksud mempertanyakan hak prerogatif Presiden dalam memberikan amnesti dan abolisi. Namun, apabila daftar sebanyak 1.116 nama belum diungkap kepada publik, tentu masyarakat berhak mengetahui siapa mereka dan apakah keputusan tersebut telah dilaksanakan secara adil dan proporsional,” jelasnya.
Langkah Presiden Prabowo dalam membebaskan Hasto Kristiyanto dan Thomas Lembong dianggap sebagai simbol rekonsiliasi nasional. Namun demikian, apabila tidak diiringi dengan transparansi pada kasus-kasus lain, dikhawatirkan hal tersebut dapat menimbulkan persepsi yang kurang kondusif bahwa kebijakan abolisi dan amnesti digunakan semata-mata untuk kepentingan politik.
Hingga saat ini, pihak Istana, Kemenkumham, maupun Mahkamah Agung belum memberikan tanggapan resmi terkait permintaan informasi atas daftar 1.116 penerima abolisi dan amnesti tersebut.
(Dhii)