Jakarta, ebcmedia.id – Pemerintah Indonesia bersiap menggelar proyek energi terbarukan terbesar sepanjang sejarah: pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berkapasitas 100 Gigawatt (GW). Proyek ambisius ini digagas sebagai bagian dari visi Asta Cita Presiden Prabowo Subianto untuk memperluas akses energi yang terjangkau dan ramah lingkungan di seluruh pelosok negeri.
Sebanyak 80 GW PLTS akan dibangun tersebar di 80 ribu desa, lengkap dengan 320 GWh Battery Energy Storage System (BESS), dan akan dikelola oleh Koperasi Desa Merah Putih (KDMP). Sementara 20 GW sisanya akan dibangun secara terpusat.
Program ini mendapat sambutan positif dari kalangan pengamat dan praktisi energi, salah satunya Institute for Essential Services Reform (IESR) yang menyebut proyek ini sebagai momen penting dalam perjalanan transisi energi Indonesia.
“Apabila terlaksana dengan baik, proyek ini akan menjadi inisiatif elektrifikasi desa dan program pembangkit energi terbarukan terdistribusi yang terbesar di Asia Tenggara serta akan mengatasi tantangan penyediaan energi yang berkualitas, merata dan terjangkau bagi seluruh rakyat Indonesia,” ujar Fabby Tumiwa, CEO IESR, dalam keterangannya.
Fabby menilai proyek ini strategis untuk mengatasi tantangan klasik yang dihadapi sistem kelistrikan nasional, terutama di desa-desa yang selama ini belum menikmati pasokan listrik yang stabil dan berkualitas.
“Tenaga surya menawarkan solusi modular, murah, dan cepat. Dengan potensi surya nasional mencapai 3.300 sampai 20.000 GW, Indonesia seharusnya bisa menjadi kekuatan besar dalam transisi energi bersih,” jelasnya.
Lebih lanjut, Fabby menyebut proyek ini menyasar tiga persoalan mendasar:
1. Mengatasi ketimpangan akses listrik di desa yang selama ini jauh tertinggal dari kota,
2. Mengurangi ketergantungan pada PLTD yang mahal dan boros subsidi,
3. Meningkatkan bauran energi terbarukan nasional untuk menekan emisi gas rumah kaca.
Selain manfaat lingkungan, proyek ini juga disebut akan menumbuhkan industri fotovoltaik dalam negeri, menyerap tenaga kerja, dan mendorong investasi di rantai pasok modul surya dan baterai.
“Ini peluang besar untuk membuka lapangan kerja hijau dan memperkuat industri energi terbarukan kita,” tambah Fabby.
Meski begitu, IESR menggarisbawahi bahwa keberhasilan proyek ini sangat bergantung pada tiga faktor utama:
1. Persiapan Lokasi dan Desain Modular
Perlu pemetaan lokasi dengan mempertimbangkan aspek geografis dan teknis. Keterlibatan kampus, terutama fakultas teknik, sangat diperlukan dalam perancangan sistem PLTS skala desa yang cepat pasang (plug and play).
2. Kesiapan SDM dan Sertifikasi
IESR memperingatkan bahwa ketersediaan tenaga kerja terampil masih terbatas. Pembangunan 1 MW PLTS dan 4 MWh BESS membutuhkan 30–50 pekerja selama 9–12 bulan. Pemerintah didorong segera menjalin kerja sama dengan BLK, SMK, dan perguruan tinggi untuk menyiapkan teknisi bersertifikat, termasuk merekrut dari komunitas lokal.
3. Koordinasi Lintas Kementerian dan Daerah
Untuk menjamin kelancaran implementasi, proyek ini disarankan masuk ke Program Strategis Nasional (PSN), lengkap dengan Satuan Tugas dan Project Management Unit (PMU) yang profesional.
IESR juga menekankan pentingnya pelibatan aktif masyarakat desa dalam seluruh tahapan proyek dari perencanaan hingga operasional—guna menjamin keberlanjutan dan dampak ekonomi lokal yang nyata.
“Pelibatan warga, perlindungan hak atas tanah, dan prinsip antikorupsi harus jadi pondasi utama proyek ini. Kalau semua dijalankan dengan prinsip partisipatif dan transparan, ini bisa jadi tonggak kemakmuran desa dan kemandirian energi nasional,” tegas Fabby.
Proyek PLTS 100 GW ini tak hanya menjadi penanda keseriusan Indonesia dalam mengatasi perubahan iklim, tapi juga mencerminkan tekad untuk menempatkan rakyat sebagai subjek dalam transisi energi, bukan hanya penonton.
(Dhii)