Jakarta, ebcmedia.id — Penyelidikan kasus dugaan korupsi di tubuh PT ASDP Indonesia Ferry terus bergulir. Jaksa Penuntut Umum (JPU) mencurigai adanya kerja sama usaha (KSU) dengan PT Jembatan Nusantara (PT JN) yang dilakukan tanpa persetujuan dari dewan komisaris dan menteri BUMN. Langkah ini dinilai memperlemah mekanisme pengawasan internal dan berpotensi merugikan negara.
“Jaksa mencecar alasan cepatnya penandatanganan perjanjian—mengapa tidak menunggu persetujuan dari dewan komisaris?” tanya JPU kepada saksi kunci di persidangan.
Cepat Teken Perjanjian, Padahal Belum Lengkap Izin
Dalam sidang lanjutan itu, pertanyaan jaksa menyasar urgensi penandatanganan kontrak tanpa memenuhi prosedur tata kelola yang baik. Data persidangan menunjukkan bahwa proses akuisisi dilakukan dengan tergesa dan belum melalui tahapan persetujuan yang diwajibkan bagi korporasi pelat merah.
“Proses akuisisi ini, sesuai dakwaan Jaksa, tanpa izin Komisaris dan Kementerian BUMN.”
Penegakan Tata Kelola, Kunci Hindari Risiko Sistemik
Kronologi kasus ini mengungkap celah tata kelola dalam ASDP dan BUMN secara umum. Pakar menyarankan agar setiap transaksi strategis seperti akuisisi harus melibatkan persetujuan dewan komisaris dan menunda pelaksanaan sampai kajian independen menunjukkan risiko dapat diminimalkan.
Hal ini menjadi penting untuk mencegah keuntungan sepihak dari kerja sama yang berpotensi koruptif.
Kerja Sama dengan PT JN Sebagai Sorotan
Kerja sama antara ASDP dan PT JN dinilai strategis, namun banyak pihak mempertanyakan keabsahan legalitas dan transparansi keputusan tersebut. Penyidik tengah mendalami apakah aliran dana atau manfaat ekonomi dari kerja sama itu dalam koridor hukum, atau telah menyalahi prosedur korporasi.
(Dhii)