Jakarta, ebcmedia.id – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat kembali menggelar Sidang lanjutan terkait kasus dugaan korupsi impor gula, Jumat (19/09/2025). Agenda sidang hari ini adalah pemeriksaan saksi ahli yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Saksi-saksi yang dihadirkan adalah Sofyan Manahara, ahli kepabeanan di bidang klasifikasi barang dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Muhammad Rizky Ramanda, ahli di bidang teknologi pangan, khususnya komoditas gula.
Kedua saksi dihadirkan untuk menjelaskan bahwa seharusnya yang diimpor bukan Gula Kristal Mentah (GKM), melainkan Gula Kristal Putih (GKP), juga memberikan keterangan tentang jenis-jenis gula di Indonesia dan dampak impor terhadap petani tebu serta stabilitas harga gula domestik.
Kuasa Hukum Agus Sudjatmoko, selaku kuasa Hans Falitha Hutama ditemui secara terpisah seusai persidangan merangkan bahwa kedua keterangan ahli yang dihadirkan jaksa tidak relevan dengan perkara, kompetensi para ahli juga diragukan.
“Ahli ini seharusnya memberikan keterangan sesuai kompetensinya. Tadi Pak Riski, yang katanya ahli teknologi pangan, malah banyak menjawab hal-hal di luar bidangnya. Ditanya soal sistem produksi gula di Indonesia saja beliau tidak tahu. Padahal kita punya pabrik gula dengan pengalaman puluhan tahun. Jadi keterangannya menurut kami tidak bisa dijadikan acuan”, jelasnya
Selain itu Agus juga menilai kesaksian yang diberikan oleh ahli kepabeanan, bahwa pernyataan yang beliau uangkapkan adalah sebuah opini pribadi bukan berdasar pada aturan hukum yang ada saat ini.
“Pak Sophian bilang soal kepabeanan, tapi ketika kami tanyakan aturan hukumnya, ternyata tidak ada. Jadi pernyataannya hanya opini pribadi, bukan ketentuan yang mengikat. Ini berbahaya kalau dipakai sebagai dasar hukum,” tuturnya.
Agus pun juga menambahkan dalam keterangan bahwa sebagai saksi ahli seharusnya dapat memberikan gambaran objektif mengenai tata niaga gula nasional. Namun, banyak pertanyaan justru tidak bisa dijawab oleh para ahli. Sehingga banyak dari pernyataan-pernyataan ahli yang menimbulkan tanda tanya apabila dijadikan salah satu dasar pengambilan keputusan.
“Keterangan ahli itu mengikat karena diberikan di bawah sumpah. Tapi kalau jawabannya tidak jelas seperti tadi, bagaimana bisa dipakai sebagai alat bukti?,” tegasnya.
Dalam penjelasannya kuasa hukum Hans Falitha pun menambahkan mengenai produksi gula dalam negeri masih bergantung pada musim panen, penggilingan dan mesin pabrik yang dinilai tertinggal secara tekhnologi, sehingga pasokan baru bisa maksimal pada Juli–Agustus. Karena itu, impor sering kali menjadi salah satu alternatif pemerintah untuk menjaga stabilitas harga dan ketersediaan gula. Impor gula juga memberikan manfaat ekonomi, mulai dari pembayaran pajak, penyerapan tenaga kerja, hingga aktivitas pendukung seperti distribusi dan pengemasan produk itu sendiri.
“Kalau kebutuhan masyarakat sudah tinggi sejak Januari, tapi produksi baru optimal di pertengahan tahun, wajar pemerintah membuka opsi impor. Itu pun sudah dibicarakan dalam rapat koordinasi di Kementerian Perekonomian dan mendapatkan persetujuan,” pungkas Agus.
Dalam sidang dakwaan terdahulu, Kelima terdakwa tersebut didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, terkait dugaan penyalahgunaan impor gula yang merugikan keuangan negara.
Kelima terdakwa dalam kasus ini di antaranya Tony Widjaja Ng (Direktur Utama PT Angels Products), Then Surianto Eka Prasetyo (Direktur PT Makassar Tene), Hendrogiarto Tiwow (Direktur PT Duta Sugar International), Hans Falitha Hutama (Direktur Utama PT Berkah Manis Makmur), serta Eka Sapanca (Direktur PT Permata Dunia Sukses Utama).
(AR)