Jakarta, ebcmedia.id – Pengacara kondang Hotman Paris Hutapea kembali menyinggung keputusan Presiden Prabowo Subianto yang memberikan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, dalam kasus dugaan korupsi impor gula. Menurutnya, keputusan tersebut menimbulkan pertanyaan hukum terkait posisi para terdakwa lain yang disebut hanya sebagai pihak “turut serta”.
Hal itu mencuat dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (26/9/2025), dengan agenda mendengar keterangan ahli hukum pidana Universitas Riau, Erdianto Effendi. Sidang ini menghadirkan lima terdakwa dari sejumlah korporasi gula, yakni Tony Wijaya Ng (PT Angels Products), Then Surianto Eka Prasetyo (PT Makassar Tene), Eka Sapanca (PT Permata Dunia Sukses Utama), Hendrogiarto A. Tiwow (PT Duta Sugar International), dan Hans Falita Hutama (PT Berkah Manis Makmur).
Hotman, selaku kuasa hukum Tony, menanyakan apakah masih ada dasar hukum menjerat terdakwa yang hanya dianggap turut serta, sementara pelaku utama, Tom Lembong, telah mendapat abolisi.
“Pertanyaan saya, kalau unsur perbuatan melawan hukum dari pelaku utama yaitu Tom Lembong sudah ditiadakan, apakah turut serta masih bisa dipidanakan? Tanpa ada perbuatan Tom Lembong, tidak pernah ada perbuatan turut serta,” ujar Hotman di persidangan.
Menjawab itu, Erdianto menegaskan bahwa abolisi yang diberikan Presiden Prabowo sifatnya terbatas.
“Kalau amnesti itu memaafkan pelaku, sedangkan abolisi menghapuskan perbuatan. Tapi abolisi yang diberikan Presiden hanya berlaku untuk Tom Lembong. Itu masalahnya,” jelas Erdianto.
Perdebatan makin sengit saat Hotman menegaskan logika hukum pidana seharusnya berlaku sama bagi semua pihak.
“Tidak mungkin ada turut serta karena mereka ini bukan pelaku utama. Kalau pelaku utama perbuatannya dianggap tidak pernah ada, maka turut serta pun harusnya ikut hilang. Anda setuju?” tanya Hotman.
Erdianto pun menjawab pertanyaan Hotman Paris.
“Secara teori memang begitu, tapi dalam kasus ini keputusan abolisi hanya menghapus penuntutan terhadap Tom Lembong, bukan terhadap pihak lain. Menurut saya, ada kekeliruan dalam keputusan Presiden tentang abolisi,” ucap Erdianto.
Selain membahas abolisi, Erdianto juga memaparkan soal tanggung jawab pidana korporasi. Menurutnya, korporasi bisa dimintai pertanggungjawaban apabila memperoleh keuntungan dari tindak pidana atau jika perbuatan tersebut masih dalam ruang lingkup kegiatan perusahaan.
“Bisa juga dianggap sebagai perbuatan korporasi apabila dilakukan sesuai ruang lingkup anggaran dasar atau rumah tangga perusahaan,” ungkapnya.
(Dhii)