Jakarta, ebcmedia.id – Saksi mahkota perkara dugaan korupsi di Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, memberikan keterangannya dalam Sidang lanjutan yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, Selasa (30/09/2025).
Para terdakwa dalam perkara korupsi ini antara lain eks Kepala Dinas Kebudayaan Jakarta, Iwan Henry Wardhana, eks Kepala Bidang Pemanfaatan Dinas Kebudayaan Jakarta, Mohamad Fairza Maulana, serta pemilik penyelenggara acara (EO) Gerai Production (GR PRO), Gatot Arif Rahmadi.
Selama periode 2022–2024, Gatot atas dasar penunjukan dari Iwan dan arahan Fairza telah mengelola sekitar 101 acara PSBB Komunitas, 746 PKT, dan tiga Jakarnaval dengan realisasi pembayaran setelah dipotong pajak sebesar Rp 38.658.762.470. Namun, jumlah pengeluaran sebenarnya hanya sebesar Rp 8.196.917.258 (Rp 8,19 miliar)
Dalam persidangan, kesaksian dari saksi mahkota justru membuka fakta bahwa M. Fairza diarahkan untuk menanggung semua kesalahan.
“Sebelumnya, terdakwa memang dikondisikan agar semua permasalahan dibuang kepadanya, sehingga seolah-olah dia yang paling bertanggung jawab. Padahal jelas, perintah dan arahan itu datang dari atasan,” tegas Fairza di persidangan.
Tim kuasa Hukum M Fairza Maulana, yakni Waspada Daeli, SH dan Santo Sinaga, SH memberikan keterangan seusai persidangan. Tim kuasa hukum memberikan keterangan bahwa Fairza bukanlah pelaku utama, melainkan hanya korban dari sistem yang bertahun-tahun berjalan. Mereka menyoroti kesaksian dari saksi mahkota serta fakta-fakta baru yang muncul di persidangan.
Salah satu nya juga menyoroti perihal barang bukti laptop yang dihancurkan, yang menurutnya menunjukkan adanya upaya menutupi jejak.
“Bahkan bukti berupa laptop dihancurkan sendiri oleh pihak lain, bukan oleh klien kami. Ini jelas menjadi catatan serius,” ujarnya
Waspada Daeli juga menegaskan bahwa kliennya dipaksa untuk pasang badan dengan iming-iming uang dan jaminan masa depan keluarganya.
“Dari kesaksian tersebut sudah jelas, bahwa Fairza disuruh pasang badan dengan janji uang Rp1 miliar dan biaya pendidikan anak-anaknya. Namun, hati nurani tidak bisa dibohongi. Fairza akhirnya memilih untuk jujur,” tegasnya.
Dalam keterangannya kuasa hukum juga menekankan bahwa Fairza hanyalah pelaksana tugas yang tidak memiliki kewenangan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), karena status Fairza pada saat itu masih PLT belum sebagai pejabat tetap.
“Fakta persidangan menunjukkan, sebagai PLT, Fairza tidak bisa menjadi Kuasa Pengguna Anggaran. Jadi tuduhan bahwa ia bertindak selaku KPA itu berlebihan dan tidak sesuai aturan,” jelasnya.
Sementara itu, Santo Sinaga juga menambahkan juga menilai fakta-fakta persidangan semakin menguatkan bahwa Fairza bukan otak perkara dan uang yang disita penyidik tidak sepenuhnya berasal dari tindak pidana.
“Selama ini seakan-akan klien kami disebut sebagai aktor utama. Namun hari ini jelas terungkap, Fairza hanyalah menjalankan perintah dari atasannya. Bahkan saksi Gatot sendiri menegaskan ada arahan langsung dari pimpinan, dan juga Dana Rp1,6 miliar yang disita itu tidak murni hasil korupsi. Ada Rp430 juta yang berasal dari penjualan rumah untuk biaya umroh dan pendidikan anak, serta sebagian lainnya dari sumber sah. Jadi tidak bisa serta-merta disebut hasil kejahatan,” tegasnya.
Terakhir, tim kuasa hukum Fairza menyampaikan perihal kejanggalan penetapan Fairza sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas perkara dugaan korupsi ini.
“Kalau bicara kewenangan, justru kepala bidang dan kuasa pengguna anggaran periode 2022–2023 lah yang mestinya diperiksa lebih jauh. Mengapa justru Fairza yang dijadikan kambing hitam? Ini pertanyaan besar bagi penegakan hukum,” pungkasnya.
Dalam persidangan terdahulu, Jaksa Penuntut Umum menjatuhkan dakwaan terhadap ketiga terdakwa dengan merugikan negara senilai Rp 36,31 miliar karena merekayasa bukti pertanggungjawaban pengelolaan anggaran yang melebihi dari pengeluaran sebenarnya.
Karena perbuatannya, ketiganya didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
(Ar)