Jakarta, ebcmedia.id – Ahli jelaskan apabila barang impor yang belum dikirim fisiknya maka belum bisa di tetapkan berapa biaya impornya, yang bisa dihitung hanya perkiraan biayanya saja. Nursidiq Istiawan selaku Ahli Kebijakan Fiskal (bidang kepabeanan) menerangkan dalam Sidang Lanjutan dugaan perkara korupsi importasi gula di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, Senin (30/09/2025).

Dalam persidangan kali ini ahli kepabeanan menjawab pertanyaan dari hakim mengenai barang impor yang belum dilakukan pengiriman, apakah biaya pajak, biaya transport, biaya cukai dan biaya yang lain sudah bisa dihitung dan ditetapkan.
“Ya biaya-biaya itu bisa ditetapkan jumlahnya setelah pengiriman impor sudah dilakukan, sudah sampai di indonesia baru biaya muncul dan ditetapkan, kalau barang belum sampai hanya bisa dihitung perkiraannya saja,” jelas Nursidiq dalam persidangan.
Nursidiq memberikan keterangan sebagai ahli untuk terdakwa Tony Wijaya, Then Surianto Eka Prasetyo, Eka Sapanca, Hendrogiarto A. Tiwow, serta Hans Falita Hutama.
Didalam lanjutan sidang hari ini, dihadirkan juga Ahli Alexander Marwata dari KPK, keterangannya untuk terdakwa Hans Falitha Hutama, ahli menjelaskan mengenai apa itu tindak pidana korupsi, perbuatan awalnya hingga dengan perbuatan turunannya dari tindak pidana tersebut.
Hakim dan Jaksa Penuntut Umum juga menyakan terkait dengan abolisi yang diberikan kepada Tom Lembong, tetapi ahli tidak memberikan penegasan terhadap abolisi yang diberikan presiden tersebut karena itu hak prerogatif Presiden. Ahli hanya menjelaskan abolisi secara umum yang sesuai dengan perundang-undangan.
Seusai persidangan, Soesilo Aribowo selaku kuasa Hans Falitha Hutama menyoroti 2 hal yakni masalah abolisi dan penghitungan kerugian negara. Ia menyatakan bahwa hakim memiliki kewenangan untuk menilai secara mandiri tanpa harus terikat pada hasil audit lembaga tertentu.
“Semua keterangan mengenai abolisi dan kerugian negara itu sebenarnya dapat dinilai langsung oleh majelis hakim. Hakim bisa menghitung sendiri, tidak harus selalu bergantung pada BPKP atau lembaga lain. Prinsip hukum progresif menekankan pada keadilan dan kemanfaatan, bukan sekadar prosedural,” ujarnya.
Kuasa hukum juga menekankan bahwa audit kerugian negara yang selama ini dijadikan acuan masih bersifat sementara dan belum final. Apabila perkara ini dipaksakan terus berlanjut tanpa kepastian, justru akan membawa dampak buruk bagi para pihak yang terlibat.
“Audit kerugian negara itu ternyata belum final. Artinya, bila majelis hakim dengan logika hukumnya ternyata melihat ada hal yang berbeda, tentu bisa mengambil keputusan yang lebih adil dan kalau proses ini terus dilanjutkan tanpa arah yang jelas, tentu akan banyak pihak yang dirugikan. Padahal, tujuan hukum itu harusnya membawa manfaat, bukan sekadar menghukum,” tutupnya.
(Ar)