Jakarta, ebcmedia.id – Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menolak permohonan jaksa penuntut umum (JPU) untuk membacakan keterangan istri dua terdakwa kasus dugaan suap vonis lepas perkara minyak goreng. Hakim menegaskan jaksa wajib menghadirkan saksi maupun ahli langsung di persidangan.
Dua terdakwa tersebut adalah hakim anggota Ali Muhtarom dan Agam Syarief Baharudin. Persidangan berlangsung di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Rabu (1/10/2025).
Jaksa sebelumnya meminta agar keterangan istri kedua terdakwa tetap dibacakan, meski keduanya berhalangan hadir. Istri Ali disebut tidak bisa datang karena sedang merawat orang tuanya di Jepara, Jawa Tengah. Sementara istri Agam berhalangan hadir karena sakit.
Namun majelis hakim yang dipimpin Effendi menolak permohonan tersebut. Menurut hakim, keterangan saksi yang tidak diambil sumpah tidak bisa serta-merta dibacakan dalam persidangan.
“Kalau di KUHAP itu kan yang dibacakan adalah keterangan yang disampaikan di bawah sumpah. Ini kan tidak. Jadi kami pulangkan kepada penuntut umum, apakah akan dihadirkan langsung atau tidak. Kalau tidak, ya sebaiknya jangan dibacakan karena hanya akan membuang waktu,” tegas hakim Effendi.
Meski jaksa bersikeras agar keterangan tersebut tetap dibacakan dengan alasan akan diperkuat bukti lain, hakim tetap menolak.
“Majelis tidak menerima permohonan itu. Kita lanjut ke saksi atau ahli yang lain saja,” ujar hakim.
Sidang kemudian dilanjutkan dengan menghadirkan ahli digital forensik Irwan Harianto.
Sebagai latar belakang, perkara ini bermula dari vonis lepas yang dijatuhkan kepada korporasi dalam kasus ekspor minyak goreng. Hakim Djuyamto bersama hakim anggota Agam dan Ali didakwa menerima suap dan gratifikasi hingga Rp 40 miliar.
Uang tersebut diduga diberikan oleh sejumlah pengacara, yakni Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan M. Syafei, demi memuluskan vonis lepas tersebut. Dalam dakwaan, uang suap dibagi ke beberapa pihak: Muhammad Arif Nuryanta diduga menerima Rp 15,7 miliar, Wahyu Gunawan Rp 2,4 miliar, Djuyamto Rp 9,5 miliar, sementara Agam dan Ali masing-masing Rp 6,2 miliar.
(Dhii)