Jakarta, ebcmedia.id – Ahli Auditor Forensik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Miftakh Aulani Rahman hari ini dihadirkan dalam sidang lanjutan dugaan perkara korupsi ASDP di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat. Kamis (2/10/2025)
Kasus dugaan korupsi di ASDP mencuat setelah adanya temuan penyimpangan dalam proyek pengadaan fasilitas penunjang operasional dan transaksi korporasi yang dianggap merugikan negara. Aparat penegak hukum menduga adanya manipulasi dalam proses penghitungan aset, termasuk penilaian terhadap kapal serta transaksi saham.
Mantan Direktur Utama PT ASDP Ira Puspadewi, salah satu pejabat di ASDP, kemudian ditetapkan sebagai terdakwa bersama Harry Muhammad Adhi Caksono selaku Direktur Perencanaan dan Pengembangan periode 2020–2024, dan Muhammad Yusuf Hadi selaku Direktur Komersial dan Pelayanan periode 2019–2024.
Jaksa mendakwa para terdakwa telah memperkaya diri sendiri maupun pihak lain sehingga merugikan keuangan negara.
Namun, pihak kuasa hukum menegaskan bahwa kliennya hanya menjalankan tugas administratif dan tidak pernah terlibat dalam proses pengambilan keputusan strategis, termasuk soal penghitungan valuasi maupun pengelolaan anggaran.
Tim kuasa hukum Ira Puspadewi, Gunadi Wibakso ditemui di sela-sela sidang, menerangkan bahwa terdakwa dalam perkara dugaan korupsi di PT ASDP Indonesia Ferry (Persero), menyampaikan keberatannya terkait keterangan auditor yang dihadirkan jaksa penuntut umum dalam persidangan. Menurut kuasa hukum, perhitungan kerugian negara yang dipaparkan tidak independen serta tidak sesuai dengan standar hukum yang berlaku.
Ia juga menjelaskan bahwa lembaga yang berwenang menyatakan adanya kerugian negara hanyalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 23 dan sejumlah peraturan perundang-undangan.
“Kami menghormati auditor yang ditugaskan, tetapi dari sisi independensi sangat patut dipertanyakan. Bagaimana bisa disebut independen jika auditor berasal dari institusi yang sama dengan penyidik dan penuntut? Itu jelas berpotensi menimbulkan konflik kepentingan,” katanya usai persidangan.
Menanggapi keberatan kuasa hukum, jaksa penuntut umum menegaskan bahwa audit yang dilakukan sudah sesuai prosedur dan memiliki dasar hukum.
“Audit dilakukan berdasarkan penugasan resmi dan menggunakan standar pemeriksaan yang berlaku. Perhitungan kerugian negara dilakukan secara profesional dengan metode sampling yang sahih secara akademis,” kata jaksa dalam persidangan.
Gunadi kembali menegaskan bahwa penghitungan kerugian negara bukan sekadar persoalan kemampuan teknis, tetapi juga soal legalitas dan kewenangan. Auditor, menurutnya, harus memiliki keahlian, pengalaman, izin, serta sertifikasi resmi agar hasilnya sah secara hukum.
“Orang bisa saja punya kemampuan, tapi kalau tidak punya izin resmi, hasil kerjanya tidak sah. Sama seperti orang bisa mengemudi, tapi kalau tidak memiliki SIM, secara hukum dia tidak boleh menyetir. Begitu pula auditor. Mereka harus memiliki legitimasi,” ujarnya.
Jaksa juga menambahkan bahwa auditor yang dihadirkan memiliki pengalaman serta kapasitas dalam melakukan penghitungan keuangan negara. Meski BPK memang lembaga yang memiliki kewenangan konstitusional, menurut jaksa, pihak lain tetap dapat dilibatkan dalam proses penyidikan untuk memberikan keterangan ahli.
“Keterangan auditor ini adalah bagian dari alat bukti untuk memperkuat dakwaan. Pada akhirnya, penilaian atas sah atau tidaknya akan menjadi kewenangan majelis hakim,” ujar jaksa.
Selain masalah kewenangan, Gunadi juga mengkritisi metode yang digunakan auditor dalam menghitung kerugian negara. Ia menyebut bahwa auditor hanya mengambil sampel sebagian kecil dari ribuan kapal yang menjadi objek perhitungan, lalu menarik kesimpulan secara umum.
“Kerugian negara tidak bisa dihitung dengan sampling seadanya. Seharusnya diperiksa secara menyeluruh dengan metode sesuai standar pemeriksaan keuangan negara. Kalau hanya memeriksa beberapa sampel, lalu hasilnya digeneralisasi, tentu tidak akurat,” tegasnya.
Menurutnya, hal ini dapat mengaburkan fakta dan berpotensi merugikan terdakwa jika dijadikan dasar dalam tuntutan hukum kedepannya.
Aspek lain yang disoroti dalam perkara ini, yakni terkait valuasi saham dalam akuisisi perusahaan. Ia menilai auditor yang dihadirkan jaksa tidak memiliki kapasitas untuk menentukan angka valuasi karena tidak memiliki keahlian maupun izin di bidang tersebut.
“Penilaian saham itu kewenangan konsultan atau pihak yang memang memiliki kompetensi. Kalau konsultan profesional sudah menetapkan valuasi tertentu, seharusnya itu yang dijadikan dasar. Auditor internal tidak berhak menentukan angka sendiri,” jelasnya.
Menurutnya, peran auditor internal hanya sebatas memberikan analisis atau masukan, bukan menetapkan kerugian negara. Hasil analisis pun, sesuai aturan, harus diserahkan kepada BPK sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang.
Dalam kesimpulannya, Gunadi menegaskan bahwa pihaknya tidak bermaksud menghalangi proses hukum, melainkan ingin memastikan bahwa persidangan berjalan sesuai aturan. Ia berharap majelis hakim menilai secara objektif aspek legalitas, independensi, serta kompetensi pihak yang melakukan perhitungan kerugian negara.
“Kami hanya ingin agar persidangan ini berjalan dengan benar. Jangan sampai kerugian negara ditetapkan oleh pihak yang tidak berwenang. Itu harus diuji kembali, dan kami percaya majelis hakim akan bijaksana dalam mempertimbangkannya,” pungkas Gunadi.
(AR)