Jakarta, ebcmedia.id – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi kembali menggelar Sidang lanjutan perkara dugaan korupsi terkait pembiayaan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) di PN Jakarta Pusat, Senin (6/10/2025). Ketiga terdakwa tampak hadir dalam persidangan yakni Jimmy Masrin, Newin Nugroho, dan Susy Mira Dewi.
Agenda sidang pada hari ini masih dengan mendengarkan keterangan saksi yang dihadirkan oleh Jaksa KPK. Terdapat 8 saksi yang dihadirkan pada persidangan kali ini diantaranya yaitu Dwi Wahyudi, Aris Setiawan, Sunu Widi Purwoko, Edi winanto, Kristianti Sianipar, Sujatmiko dari LPEI.
Dalam keterangannya, saksi mengungkap bahwa pembiayaan tidak hanya diberikan kepada PT Petro Energy, tetapi juga kepada PT KPM. Menurut saksi, pemberian fasilitas kredit kepada PT KPM didasarkan pada pertimbangan bahwa perusahaan tersebut termasuk dalam industri energi yang berperan mendukung kegiatan ekspor nasional. PT KPM diketahui memiliki kontrak kerja sama dengan PT PLN (Persero) sebagai pemasok bahan baku energi yang digunakan untuk produksi listrik.
“Jadi disini PT KPM merupakan penyedia bahan baku energi untuk PLN. Energi itu digunakan PLN untuk menghasilkan listrik yang kemudian dijual kepada masyarakat,” ujar saksi dalam persidangan.
Ditemui secara terpisah seusai persidangan, Kuasa Hukum Jimmy Masrin, Waldus Situmorang. Menurutnya LPEI memiliki dasar hukum tersendiri yang diatur dalam undang-undang yang menegaskan peran lembaga tersebut dalam melaksanakan penugasan pemerintah untuk mendukung kegiatan ekspor nasional.
“Penugasan itu seharusnya difasilitasi oleh pemerintah, bukan justru dipersulit,” ujarnya.
Waldus menilai bunga pinjaman yang dikenakan terhadap pembiayaan tersebut justru memberatkan, bahkan melebihi suku bunga perbankan umum.
“Bunga yang dikenakan lebih dari 10 persen. Padahal, sifat pembiayaannya adalah penugasan negara untuk mendorong keterlibatan swasta dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Kalau bunganya setinggi itu, jelas memberatkan, apalagi pengembaliannya dalam dolar yang nilainya terus naik,” jelasnya.
Ia menjelaskan, pembiayaan sebesar 22 juta USD itu sebenarnya telah dialokasikan untuk kegiatan yang berkaitan dengan ekspor, meskipun tidak dilakukan secara langsung. Mekanisme penggunaan dana dilakukan melalui Letter of Credit (LC) yang dibuka di bank luar negeri.
“Dana yang diterima digunakan sesuai dengan tujuannya, yaitu mendukung kegiatan ekspor, dan hal itu diperbolehkan secara regulasi,” tambahnya
Kuasa Hukum juga menegaskan bahwa jaminan yang diberikan pihak debitur, yakni PT Petro Energy, nilainya jauh melebihi jumlah pembiayaan yang diterima. Juga seluruh persyaratan kredit telah dipenuhi oleh pihak debitur.
“Untuk kredit senilai 22 juta USD, jaminannya mencapai lebih dari satu triliun rupiah. Bentuknya terdiri dari jaminan benda tidak bergerak dan benda bergerak seperti piutang, yang dijaminkan melalui akta fidusia. Itu sah secara hukum dan semuanya sudah dipenuhi. Jadi tidak ada yang dilanggar,” tegasnya.
Selain itu Waldua juga menekankan bahwa seluruh kewajiban pembayaran, baik bunga, denda, maupun pokok pinjaman, telah dilunasi tepat waktu. Pembayaran yang dilakukan dengan mata uang dollar, menimbulkan selisih nilai tukar dolar terhadap rupiah justru membuat pembayaran menjadi lebih besar.
“Kalau merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004, yang dimaksud kerugian negara adalah berkurangnya kekayaan negara. Dalam kasus ini tidak ada pengurangan, malah negara menerima bunga dan penalti. Bahkan pembayaran dilakukan dalam dolar, sedangkan pinjamannya dalam rupiah, coba sekarang lihat saja hanya dari selisih kurs saja, nilainya bisa mencapai Rp7 miliar. Jadi di mana letak kerugian negara?” terangnya.
Ia juga menyoroti adanya kejanggalan dalam penanganan perkara ini. Menurutnya, pejabat LPEI yang memiliki kewenangan dalam pemberian pembiayaan justru belum dijadikan terdakwa.
“Direktur Pelaksana I LPEI, Dwi Wahyudi, yang juga sudah berstatus tersangka, sampai sekarang belum diajukan ke pengadilan. Sementara pihak swasta sudah lebih dulu dijadikan terdakwa. Padahal, menurut undang-undang, semestinya penyelenggara negara yang lebih dulu dimintai pertanggungjawaban, atau setidaknya bersama-sama,” katanya.
Ia menambahkan, penyelesaian utang dilakukan melalui skema di luar kepailitan, sesuai kesepakatan antara Jimmy Masrin dan dengan adanya jual beli piutang, pengalihan hutang, pengakuan hutang Petro Energy dalam pencatatannya bukan lagi sebagai debitur dari LPEI.
“Seharusnya bisa saja ditempuh jalur pailit, tapi klien kami memilih menyelesaikannya dengan cara baik, tanpa merugikan siapa pun. Bahkan dalam surat resmi dari LPEI disebutkan bahwa Petroenergi sudah tidak lagi tercatat sebagai debitur karena adanya mekanisme jual beli piutang, pengakuan hutang dan pengalihan utang,” jelas Waldus.
Waldus menutup dengan menegaskan bahwa perkara ini tidak seharusnya dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
“Risiko keuangan dalam pembiayaan ini sebenarnya nol. Tidak ada kerugian negara, semua kewajiban dipenuhi. Justru nama baik negara yang dipertaruhkan karena kasus yang seharusnya bersifat perdata dibawa ke ranah pidana,” pungkasnya.
(AR)