Jakarta, ebcmedia.id – Sidang lanjutan perkara dugaan korupsi kredit macet di Bank Negara Indonesia (BNI) Kantor Cabang Jakarta Kota kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (7/10). Dalam agenda pemeriksaan saksi, saksi yang dihadirkan pada hari ini yakni Ari Fiandi Nurul Huda (Orix BNI), Haryati (Retail Credit Officer BNI), Abner (Manager Business BNI).
Dalam perkara ini, Lia Hertika Hudayani didakwa bersama dengan Ferry Syarfariko dan Nazal Gilang Romadhon serta Lilys Yuliana alias Sansan (DPO) dengan dugaan melakukan korupsi terkait kredit macet di Bank BNI yang mengakibatkan kerugian keuangan negara Rp 34,510.585 540 miliar.
Ditemui usai sidang, Erdi Surbakti, S.H., M.H. selaku kuasa hukum terdakwa Lia menilai bahwa dakwaan jaksa belum memiliki dasar hukum yang kuat karena belum adanya audit resmi atas kerugian negara.
Kuasa hukum terdakwa, dalam keterangannya menyebut bahwa tiga saksi dari pihak BNI tidak mampu menjelaskan secara pasti mengenai hasil audit kerugian negara sebagaimana dipersyaratkan dalam undang-undang.
“Ketiga saksi ini secara gamblang tidak bisa menjelaskan apakah sudah atau belum ada audit tentang kerugian negara. Mereka masih menggunakan audit internal. Ini sama saja seperti mendakwa orang tanpa dasar hukum,” ujarnya.
Ia menjelaskan, sesuai dengan ketentuan Mahkamah Konstitusi, suatu kerugian negara harus bersifat pasti dan jelas agar dapat dijadikan dasar dalam penuntutan perkara korupsi.
Lebih lanjut, tim pembela menilai terdapat perlakuan pilih kasih (tebang pilih) dalam penetapan tersangka. Liya, yang berposisi sebagai wakil penyedia di BNI Jakarta Kota, justru diseret sebagai penanggung jawab tunggal atas kerugian senilai Rp24 miliar.
“Padahal di atas Liya ada pejabat lain, yaitu Siti Fadilah. Tapi anehnya, pihak BNI tidak bisa memastikan kenapa atasannya tidak dijadikan penanggung jawab. Justru wakilnya yang diseret ke meja hijau,” tuturnya
Perbandingan juga dilakukan terhadap kasus serupa di BNI Cabang Daan Mogot, yang mencatat kerugian sekitar Rp14 miliar. Dalam kasus tersebut, wakil kepala cabang justru tidak dijadikan terdakwa, melainkan dibebankan kepada pihak penyelia.
“Ini jelas janggal. Di Jakarta Kota, kerugian Rp24 miliar dibebankan ke Liya sebagai wakil penyedia. Tapi di Daan Mogot, dengan kerugian Rp14 miliar, justru wakil kepala cabangnya tidak tersentuh hukum. Ini bentuk pilih kasih,” tegasnya.
Kuasa hukum juga menyoroti peran hakim yang dinilai cukup teliti dalam menggali posisi dan tanggung jawab masing-masing pihak yang terlibat.
“Kami cukup puas karena majelis hakim tadi cukup jeli mempertanyakan kedudukan dan tanggung jawab para pihak, baik di Jakarta Kota maupun Daan Mogot,” ujarnya.
Kuasa hukum turut menyinggung adanya tersangka lain yang masih berstatus DPO (daftar pencarian orang). Menurutnya, DPO tersebut diduga berperan sebagai aktor intelektual yang mendesain ratusan debitur fiktif di internal BNI selain itu juga Ia mendesak kejaksaan untuk segera menuntaskan pencarian DPO tersebut dengan memanfaatkan teknologi pelacakan yang sudah canggih saat ini.
“DPO ini salah satu aktor intelektual yang bisa mendesain ratusan orang menjadi debitur fiktif. Kemungkinan besar ada peran dari internal juga, tapi justru pihak internal tertentu seolah dilindungi, masa sekarang manusia nggak bisa dideteksi? Dengan alat secanggih itu, harusnya mudah ditemukan. Jadi serahkan saja pada aparat, agar kasus ini tuntas dan tidak tebang pilih,” pungkasnya
Dalam sidang terdahulu, keempat terdakwa perkara ini telah didakwakan melanggar Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP. Subsider Pasal 3 Jo. Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor.
(AR)