ICEF dan IESR Dorong Pemerintah Percepat Transisi Energi Menuju 100 Persen Terbarukan pada 2050

oleh
oleh
banner 468x60

Jakarta, ebcmedia.id – Indonesia kini memiliki peta jalan transisi energi di sektor ketenagalistrikan yang tertuang dalam Permen ESDM No.10/2025, sebagai langkah menuju net zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat. Upaya ini turut didorong oleh Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) melalui ajang Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2024.

Melalui pembaruan Kebijakan Energi Nasional (KEN) dalam PP No.40/2025, pemerintah menargetkan porsi energi terbarukan sebesar 19–23 persen pada 2030, dan meningkat hingga 70–72 persen pada 2060. Namun, dalam IETD 2025, ICEF dan IESR menilai target tersebut masih tergolong rendah dibandingkan dengan potensi energi terbarukan Indonesia yang mencapai lebih dari 3.600 GW.

Untuk mempercepat transisi menuju energi bersih, kedua lembaga ini merekomendasikan tiga strategi utama: jangka pendek, menengah, dan panjang. Rekomendasi tersebut disampaikan dalam IETD 2025 yang digelar pada 6–8 Oktober di Jakarta, dengan dukungan British Embassy Jakarta melalui proyek Green Energy Transition Indonesia (GETI).

Langkah Jangka Pendek: Integrasi PLTS dan PBJT

Dalam satu hingga dua tahun ke depan, ICEF dan IESR mengusulkan tiga langkah strategis. Pertama, mengintegrasikan program 100 GW PLTS dan baterai tersebar ke dalam rencana pembangunan ekonomi desa berbasis energi terbarukan yang diatur dalam Keppres atau Perpres. Kedua, memperluas kuota PLTS atap untuk mendorong partisipasi masyarakat dan industri. Ketiga, menerapkan Penggunaan Bersama Jaringan Transmisi (PBJT) untuk memperluas akses energi bersih bagi sektor industri.

Chief Executive Officer (CEO) IESR, Fabby Tumiwa, mengatakan implementasi PBJT akan memberikan manfaat luas bagi semua pihak.

“Implementasi PBJT akan menciptakan kondisi yang saling menguntungkan bagi pemerintah, industri, masyarakat, dan PLN. Langkah ini dapat meningkatkan bauran energi terbarukan nasional tanpa membebani APBN, dalam menambah pendapatan dan utilisasi jaringan PLN,” ujarnya.

Fabby menambahkan, penerapan PBJT juga dapat memperbaiki kualitas suplai listrik dan menekan jejak karbon industri.

“Pemerintah perlu menetapkan kerangka institusi yang akan menyusun rencana implementasi detil untuk program 100 GW PLTS tersebar, dengan pembagian peran yang jelas bagi seluruh kementerian/lembaga serta pemangku kepentingan yang terlibat,” katanya.

Menurutnya, keberhasilan program tersebut akan menciptakan permintaan energi surya yang mampu mendorong rantai pasok industri dalam negeri serta membuka lapangan kerja di sektor pertanian, perikanan, industri kreatif, dan UMKM.

Langkah Jangka Menengah: Enam Strategi Kunci

Dalam rentang tiga hingga empat tahun ke depan, ICEF dan IESR menilai pentingnya membangun enabling condition atau kondisi yang memungkinkan percepatan transisi energi. Ada enam strategi yang direkomendasikan, antara lain:

1. Meningkatkan edukasi, partisipasi, dan kepercayaan publik terhadap program transisi energi;

2. Menyiapkan regulasi agar proyek energi terbarukan menjadi layak dan bankable;

3. Menyelaraskan instrumen keuangan dan pasar karbon;

4. Meningkatkan kapasitas sistem kelistrikan dan SDM sektor energi;

5. Mengarusutamakan keterampilan hijau dalam pendidikan dan pelatihan;

6. Membangun ekosistem hidrogen hijau melalui insentif dan efisiensi teknologi.

Anggota ICEF, Sripeni Inten Cahyani, menekankan pentingnya peran lintas kementerian dalam penguatan SDM hijau.

“Penting peran kementerian terkait seperti Bappenas, Kementerian Tenaga Kerja, dan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi dalam identifikasi kebutuhan kompetisi dan melakukan pengarusutamaan pendidikan dan pelatihan di sektor industri yang akan tumbuh dari proses transisi energi,” jelas Sripeni.

Langkah Jangka Panjang: Kepastian Hukum Transisi Energi

Untuk jangka panjang, IETD 2025 menegaskan pentingnya kepemimpinan pemerintah dalam memastikan konsistensi kebijakan transisi energi melalui landasan hukum yang kuat.

“Transisi energi memerlukan proses transformasi yang panjang dan terarah sehingga memerlukan landasan yang kokoh dan berkelanjutan. Oleh karena itu, dalam periode pemerintahan Presiden Prabowo, perlu dilakukan penyelarasan kebijakan dan perencanaan energi, pembangunan, dan iklim,” ungkap Sripeni.

Ia menambahkan, percepatan pengesahan sejumlah undang-undang seperti UU Energi Baru dan Terbarukan serta UU Ketenagalistrikan akan menjadi langkah penting untuk memperkuat quick wins dan kondisi pendukung (enabling condition) yang sudah terbentuk.

Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2025 menjadi gelaran kedelapan sejak pertama kali diselenggarakan pada 2018, dengan tema “Delivering Impactful Energy Transition”. Forum ini diharapkan menjadi ruang kolaborasi untuk mempercepat langkah Indonesia menuju masa depan energi bersih dan berkelanjutan.

(Dhii)

No More Posts Available.

No more pages to load.