Jakarta, ebcmedia.id – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta kembali menggelar sidang lanjutan perkara dugaan korupsi importasi gula dengan agenda pemeriksaan saksi mahkota serta mendengarkan keterangan terdakwa, Kamis (10/10/2025).
Dalam sidang tersebut, para terdakwa bersaksi untuk satu sama lain serta menyaksikan keterangan terdakwa. Tampak hadir kelima saksi mahkota yakni Tony Wijaya selaku mantan Direktur PT Angels Products, Then Surianto Eka Prasetyo selaku mantan Direktur PT Makassar Tene, Eka Sapanca selaku eks Direktur Utama PT Permata Dunia Sukses Utama, Hendrogiarto A. Tiwow selaku Direktur PT Duta Sugar International, serta Hans Falita Hutama sebagai Direktur Utama PT Berkah Manis Makmur, yang juga berstatus sebagai terdakwa dalam perkara ini.
Kuasa hukum terdakwa Hans Falitha Hutama, Agus Sudjatmoko yang tergabung dalam Tim Kantor Hukum Soesilo Aribowo, menyampaikan bahwa keterangan para saksi menegaskan penugasan impor gula dilakukan dalam rangka mendukung kebijakan negara untuk stabilisasi harga dan pasokan gula.
“Para saksi menjelaskan bahwa penugasan itu merupakan panggilan negara. Mereka hanya ingin membantu pemerintah karena saat itu stok gula berkurang dan harga tidak stabil,” ujar Agus kepada wartawan usai sidang.
Agus menjelaskan, dalam kebijakan tersebut, PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) ditugaskan oleh pemerintah untuk menstabilkan harga, namun PPI tidak dapat melakukan impor gula kristal putih (GKP) secara langsung sehingga menggandeng pihak swasta.
“PPI tidak bisa impor GKP, maka menggandeng perusahaan swasta untuk membantu pelaksanaan penugasan itu. Klien kami hanya menjalankan apa yang menjadi bagian dari kebijakan tersebut,” katanya.
Menurut Agus, para pelaku usaha yang terlibat justru merupakan perusahaan yang sudah beroperasi dan memiliki kontrak tahunan dengan industri besar, seperti produsen susu dan roti. Artinya, tanpa penugasan sekalipun, perusahaan-perusahaan tersebut tetap berjalan dan beroperasi.
“Mereka tidak punya motif untuk melakukan penyimpangan. Kalau dapat untung, itu hal yang wajar dalam bisnis. Mereka punya karyawan, biaya operasional, dan tanggung jawab terhadap industri yang menjadi mitra,” jelasnya.
Dalam persidangan juga sempat disinggung soal dana titipan sebesar Rp74 juta yang disebut berasal dari terdakwa Hans Falitha. Agus menegaskan dana tersebut bukan bagian dari kerugian negara, melainkan bentuk itikad baik Hans untuk menghindari penyegelan dan penghentian operasional pabrik. Keempat terdakwa lainnya juga memberikan dana titipan kepada penyidik.
“Pada saat penyidikan, ada kekhawatiran pabrik akan disegel dan aset disita. Kalau pabrik berhenti, karyawan bisa di-PHK, industri roti dan susu juga bisa berhenti produksi. Jadi Pak Hans dengan itikad baik menitipkan dana agar proses hukum berjalan tanpa menutup usaha,” terang Agus.
Ia menilai, langkah tersebut merupakan bentuk tanggung jawab kliennya terhadap stabilitas industri pangan nasional. Jika pabrik ditutup, akan menyebabkan efek domino yang sangat besar karena produksi dan pasokan gula kristal rafinasi (GKR) untuk industri akan terganggu.
“Kalau pabrik ditutup, industri susu dan roti juga akan lumpuh karena pasokan GKR hanya bergantung pada beberapa pabrik dalam negeri. Jadi keputusan Pak Hans saat itu justru untuk menyelamatkan industri,” ujarnya.
Agus juga menyoroti perhitungan kerugian negara yang digunakan dalam perkara ini. Ia menyebut nilai kerugian yang diajukan jaksa bersifat asumtif karena tidak memiliki dasar harga yang pasti. Bahkan pihak PPI sendiri menyatakan tidak mengalami kerugian, sehingga klaim kerugian negara seharusnya masih bisa diperdebatkan.
“Kerugian negara yang disebutkan hanya berdasarkan asumsi harga Rp8.900 per kilogram, padahal itu merujuk pada penugasan tahun 2015. Tidak ada dasar hukum bahwa harga tersebut harus dipakai untuk tahun berjalan dan PPI-nya sendiri menyatakan tidak rugi, malah untung. Jadi kalau disebut negara rugi, itu sangat bisa diperdebatkan” tegas Agus.
Lebih lanjut, Agus menilai bahwa keterlibatan kliennya tidak bisa dilepaskan dari kebijakan penugasan yang dikeluarkan oleh Menteri Perdagangan kala itu, Tom Lembong. Secara logika hukum maupun awam, seharusnya tidak ada alasan untuk melanjutkan perkara ini terhadap para pelaksana teknis.
“Klien kami ada di posisi ini karena adanya penugasan dari Pak Tom Lembong kepada PPI. Kalau Pak Tom Lembong yang memberi izin dinyatakan bebas dan dihapuskan perbuatannya, maka seharusnya pihak yang menjalankan juga tidak bisa dipidana,” ujar Agus.
Majelis telah menetapkan pada persidangan berikutnya adalah pembacaan tuntutan oleh jaksa penuntut umum. Pihak kuasa hukum menyatakan telah menyiapkan pledoi (nota pembelaan) untuk menanggapi tuntutan tersebut.
“Kita tinggal menunggu tuntutan dari jaksa minggu depan hari rabu. Pledoi sudah kami siapkan, nanti akan kami sampaikan setelah tuntutan dibacakan,” tutup Agus.
(AR)