Jakarta, ebcmedia.id – Persidangan perkara dugaan korupsi fasilitas kredit di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dengan terdakwa Newin Nugroho, dan Susy Mira Dewi, Jimmy Masrin kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Senin (13/10/2025).
Agenda sidang kali ini menghadirkan ahli yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU), yakni Kiki Fauziah Bidari, seorang ahli audit forensik dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam keterangannya, ahli memaparkan hasil audit forensik terhadap proses pencairan fasilitas pembiayaan LPEI yang dilakukan dalam rentang waktu 2015 hingga 2017. Namun, ruang lingkup audit tersebut terbatas hanya pada tahap awal pencairan dana, tanpa mencakup periode pembayaran atau pelunasan utang yang terjadi hingga saat ini.
Kuasa hukum terdakwa Jimmy Masrin, Soesilo Aribowo, menyampaikan sejumlah catatan kritis terhadap kesaksian ahli tersebut, terutama menyangkut independensi serta kelengkapan data audit yang digunakan oleh pihak KPK.
“Ahli ini adalah PNS di Direktorat Forensik KPK, dan digaji oleh lembaga yang sama dengan pihak penuntut. Sejak awal, kami sudah mempertanyakan soal independensinya,” ujar Soesilo usai persidangan.
Menurut Soesilo, audit yang dilakukan ahli bersifat parsial karena hanya memeriksa data di awal pencairan tanpa menelusuri transaksi lanjutan, termasuk pembayaran utang yang dilakukan hingga beberapa tahun setelahnya. Hal ini, berpotensi menimbulkan kesimpulan yang tidak utuh terkait kondisi sebenarnya.
“Ahli hanya melakukan audit forensik dari tahun 2015 sampai 2017. Padahal, proses pembayaran berlangsung sampai saat ini dan tidak ada posisi default. Fakta ini tidak disinggung sama sekali,” jelasnya.
Lebih lanjut, Soesilo menyoroti bahwa ahli KPK juga tidak menemukan adanya aliran dana kepada Jimmy Masrin maupun pihak keluarga lainnya.
“Dikatakan tadi tidak ada aliran dana kepada Pak Jimmy, juga tidak ada ke Ibu Susi maupun ke Pak Nevin. Karena itu, tuduhan terkait uang pengganti yang dibebankan kepada Pak Jimmy menjadi tidak berdasar,” ujarnya.
Selain itu, ia juga mempertanyakan kualifikasi profesional dari ahli yang dihadirkan. Menurut Soesilo, ahli tersebut belum memiliki sertifikasi audit forensik, melainkan hanya memiliki sertifikat fraud examiner yang memiliki cakupan berbeda.
“Beliau memang melakukan audit forensik, tapi tidak punya sertifikasi forensik. Yang ada hanya Certified fraud examiner, tentu berbeda dari Certified Forensic Auditor (CFRA),” ungkapnya.
Ia menilai bahwa keterangan ahli yang disampaikan dalam persidangan belum mampu memberikan kejelasan baru terhadap perkara yang dihadapi kliennya.
“Harapan kami, ahli itu bisa membuat terang perkara. Tapi dari apa yang disampaikan tadi, menurut kami justru tidak semakin terang. Auditnya pun hanya sampai ke afiliasi, tidak ditelusuri lebih jauh,” tutup Soesilo.
Menurut kuasa hukum, pemeriksaan ahli dari KPK tersebut justru menunjukkan bahwa bukti dan dokumen yang digunakan sangat terbatas, sehingga belum dapat dijadikan dasar yang kuat untuk menilai adanya kerugian negara atau keterlibatan terdakwa.
Sidang akan dilanjutkan pada Jumat mendatang dengan agenda pemeriksaan lanjutan terhadap ahli dari pihak jaksa penuntut umum.
(AR)