Kuasa Hukum Soroti Kejanggalan dalam Kasus Kredit Macet BNI Wakil Pimpinan Cabang Justru Tidak Jadi Terdakwa

oleh
oleh
Kuasa hukum terdakwa kasus kredit BNI, Erdi Subakti, S.H., M.H. Foto: AR
banner 468x60

Jakarta, ebcmedia.id – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kembali menggelar sidang perkara dugaan korupsi terkait kredit macet di Bank Negara Indonesia (BNI), Selasa (14/10/2025). Sidang yang digelar di Ruang Hatta Ali, Lantai 1, Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, menghadirkan lima orang saksi dari pihak internal BNI.

Perkara ini menjerat empat terdakwa, masing-masing Lia Hertika Hudayani, Ferry Syarfariko, Nazal Gilang Romadhon, serta Lilys Yuliana alias Sansan (DPO). Mereka didakwa melakukan tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp34,51 miliar.

Agenda sidang kali ini adalah pemeriksaan saksi. Lima saksi yang dihadirkan berasal dari internal BNI, yakni Trisia Marbun (Manager Pengelola BNI), Elfian Trisna Sundawa (Wakil Pimpinan Cabang BNI Daan Mogot), Vivi Puspa Juwita (Asisten Credit Standard BNI Daan Mogot), Siti Fatiah Rahma Cita (BNI Pecenongan), Lina Apriyanti (Senior Account Credit BNI Jakarta Kota)

Para saksi memberikan keterangan terkait mekanisme analisis kredit dan proses verifikasi data debitur. Dari keterangan yang muncul di persidangan, sebagian besar saksi menyebut kredit yang dipermasalahkan telah diasuransikan, namun belum diketahui apakah pihak asuransi telah melakukan klaim penggantian terhadap fasilitas kredit yang macet tersebut.

Usai persidangan, kuasa hukum terdakwa Lia Hertika Hudayani, Erdi Surbakti, S.H., M.H. menyampaikan keberatan atas arah pembuktian dan pemilihan pihak yang dijadikan terdakwa. Menurutnya, terdapat sejumlah kejanggalan dalam proses hukum, terutama terkait tanggung jawab pejabat bank yang seharusnya memiliki peran sentral dalam keputusan pemberian kredit.

“Terhadap saksi yang mengatur kebijakan ini, dia menyatakan dengan pasti bahwa kredit ini di-cover oleh asuransi. Namun sampai hari ini, yang menentukan asuransi itu bukan bagian dari analis kredit, tapi dari divisi bisnis. Dan pihak bisnis itu belum diperiksa,” ujar Erdi kepada wartawan usai sidang.

Erdi juga menyoroti peran Wakil Pimpinan Cabang BNI, yang menurutnya justru memiliki kewenangan dalam memutuskan pemberian kredit, tetapi tidak dijadikan tersangka oleh jaksa.

“Kami melihat ada pertanggungjawaban yang terputus. Wakil pimpinan cabang yang merupakan atasan terdakwa Lia, justru tidak dijadikan tersangka, padahal dia pemutus kewenangan kredit. Lia hanya mengumpulkan data administratif untuk dianalisis bagian kredit. Ini menjadi ganjil,” tegasnya.

Pertanyakan Konsistensi Pemeriksaan Saksi

Lebih lanjut, Erdi menyebut bahwa beberapa saksi yang memiliki posisi penting dan terlibat langsung dalam proses survei serta evaluasi kredit, hanya dijadikan saksi oleh jaksa.

“Atasan Lia yang ikut melakukan pemeriksaan bersama, kunjungan ke debitur, bahkan ikut evaluasi, juga hanya dijadikan saksi. Kalau dari awal mereka tahu ada masalah, seharusnya tanggung jawabnya bersama-sama,” ujar Erdi.

Ia menambahkan, dari sisi hukum, kerugian negara seharusnya dilihat secara objektif dan berdasarkan realisasi klaim asuransi. Jika kredit yang macet telah di-cover oleh asuransi, maka potensi kerugian negara menjadi tidak relevan.

“Kalau namanya kredit macet dan ada asuransi yang menanggung, berarti kan ada penggantian. Artinya tidak serta-merta ada kerugian negara,” tambahnya.

Tim kuasa hukum berharap majelis hakim dapat menilai perkara ini secara utuh dan tidak hanya berdasarkan administrasi kredit semata. Pihaknya juga meminta agar jaksa menghadirkan seluruh saksi yang memiliki kewenangan menentukan kebijakan kredit agar fakta hukum dapat terungkap secara objektif.

“Kita harapkan pemeriksaan dilakukan secara komprehensif dan objektif, sehingga posisi Lia sebagai penyelia bisa diklarifikasi secara utuh. Jangan sampai tanggung jawab pejabat yang berwenang justru tidak disentuh,” pungkasnya.

Para terdakwa didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP, atau secara subsider Pasal 3 jo. Pasal 18 UU Tipikor.

(AR)

No More Posts Available.

No more pages to load.