Akui Terima Uang Dalam Penanganan Kasus CPO, Kesaksian Eks Hakim Djuyamto Diwarnai Rasa Bersalah

oleh
oleh
Sidang perkara dugaan suap terhadap hakim yang menangani perkara minyak goreng (migor). Foto: AR
banner 468x60

Jakarta, ebcmedia.id – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta kembali menggelar sidang perkara dugaan suap terhadap hakim yang menangani perkara minyak goreng (migor), Rabu (15/10/2025). Agenda hari ini adalah pemeriksaan saksi mahkota, mantan hakim nonaktif Djuyamto, pelaku yang bersaksi untuk terdakwa lain dalam kasus korupsi migor.

Dalam persidangan yang dipimpin oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, saksi mahkota mengakui menerima sejumlah uang terkait dengan putusan perkara migor.
Menurut keterangannya, nilai yang diterima mencapai sekitar Rp17,3 miliar, atau setara sekitar 2 juta dolar AS dengan kurs saat itu di kisaran Rp15.300 per dolar.

“Kita kena shock pada saat risiko itu, sekitar Rp17,3 miliar. Waktu itu saya yang menghitung sendiri. Itu apa adanya, bukan direkayasa,” ujar saksi mahkota di hadapan majelis hakim.

Saksi menjelaskan bahwa jumlah uang tersebut disampaikan secara terbuka kepada penyidik setelah sebelumnya rekan sesama hakim, yakni Ali dan Agam, diperiksa terlebih dahulu. Menurutnya, ia memilih untuk berkata jujur agar fakta yang sebenarnya dapat terungkap.

“Saya bisa saja bilang hanya satu miliar atau lima miliar, tapi saya jujur. Saya sebutkan apa adanya, berapa jumlah yang saya terima,” kata saksi.

Ia juga menegaskan bahwa rasa bersalah justru muncul sejak pertama kali menerima uang tersebut, bukan setelah ditetapkan sebagai tersangka.

“Perasaan bersalah itu bukan sejak saya ditangkap, tapi sejak saya menerima yang pertama itu. Saya sadar sudah bersalah sejak menerima, bahkan istri saya tahu, dan dia yang mendorong saya untuk segera mengakui kesalahan” tutur saksi dengan nada menyesal.

Dalam bagian lain persidangan, jaksa penuntut umum sempat mengonfirmasi soal adanya “atensi” atau perhatian khusus dari pimpinan pengadilan terkait penanganan perkara ini.
Namun saksi menegaskan bahwa dirinya tidak pernah menerima tekanan ataupun arahan dari pihak manapun.

“Saya tidak tahu soal atensi dari pimpinan. Selama 24 tahun saya bekerja, belum pernah ada pihak manapun yang mengintervensi saya dalam menangani perkara,” ujar saksi.

Saksi menambahkan bahwa istilah atensi dalam dunia peradilan tidak selalu identik dengan suap atau uang. Menurutnya, terkadang istilah tersebut dipakai untuk menggambarkan perkara yang menarik perhatian publik.

“Atensi tidak selalu berarti ada uang. Bisa juga karena perkara itu menarik perhatian masyarakat luas,” jelasnya.

Ia juga membantah adanya pertemuan dengan pihak-pihak yang disebut dalam dakwaan, termasuk dugaan komunikasi dengan terdakwa pemberi suap.

“Saya tidak pernah menerima uang dari terdakwa. Tidak ada tawaran uang dari pihak terdakwa, tidak ada pertemuan yang membahas soal pemberian apa pun,” tegas saksi.

Saksi juga sempat menjelaskan mengenai dinamika penerimaan uang antar hakim dalam perkara tersebut. Ia menyebut adanya selisih jumlah yang diterima oleh masing-masing hakim, namun menyatakan tidak tahu pasti sumber utama aliran dana itu.

“Setelah dihitung, totalnya sekitar Rp17,3 miliar. Ada perbedaan jumlah, misalnya Pak Agam menerima Rp4,5 miliar, tapi saya tidak tahu asal pasti uang itu, dan saya juga tidak pernah dimintai langsung oleh pihak terdakwa untuk menerima apa pun.” ujarnya.

Saksi mengaku bahwa sebagian besar uang itu diterimanya secara bertahap, dan ia tidak pernah mengetahui detail teknis pembagiannya.

Menariknya, dalam bagian akhir kesaksiannya, saksi mahkota juga memaparkan dinamika musyawarah antar majelis hakim saat merumuskan putusan perkara migor.
Ia menyebut sempat terjadi perbedaan pendapat antara dirinya, hakim Ali, dan hakim Agam, terutama terkait apakah putusan sebaiknya berupa bebas murni atau lepas dari segala tuntutan hukum (onslag).

“Saya waktu itu kalah suara. Saya lebih condong agar putusan tetap memperhatikan aspek hukum pidana, Namun akhirnya saya setuju dengan Pak Agam, karena menurutnya tujuan hukum korupsi adalah rekonsiliasi. Jadi kami memilih jalur perdata untuk mengejar tanggung jawab korporasi,” pungkas saksi.

Setelah mendengar keterangan Djumyanto, majelis hakim akan mendengar keterangan terdakwa yang lain sebagai saksi mahkota dalam perkara ini.

(AR)

No More Posts Available.

No more pages to load.