Jakarta, ebcmedia.id – Sidang perkara dugaan tindak pidana korupsi Dinas Kebudayaan DKI Jakarta dengan terdakwa Iwan Henry Wardhana, M Fairza Maulana, Gatot Arif Rahmadi, kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, dengan agenda pembacaan nota pembelaan (pledoi) dari terdakwa dan kuasa hukumnya, Kamis (16/10/2025).
Dalam sidang yang berlangsung tersebut, Iwan dengan nada tenang namun tegas menyampaikan pembelaannya terhadap dakwaan jaksa yang dinilainya lebih didasarkan pada asumsi dan interpretasi daripada bukti yang nyata.
“Saya menyadari sepenuhnya, berada di posisi seorang terdakwa bukanlah hal yang mudah. Namun saya yakin, hukum yang sejati adalah hukum yang menegakkan kebenaran, bukan sekadar mencari pembenaran,” ujar Iwan dalam pembelaannya di hadapan Majelis Hakim.
Dalam pledoi yang dibacakannya, Iwan menilai bahwa konstruksi perkara yang menjerat dirinya “dibangun atas dasar asumsi dan interpretasi” serta terlalu bergantung pada keterangan dua saksi utama, yaitu M Fairza dan Gatot Arief Rahmadi, tanpa adanya bukti materiil lain yang mendukung.
“Pandangan jaksa penuntut umum cenderung menarik kesimpulan berdasarkan persepsi sendiri, bukan pada bukti yang sah dan dapat diuji kebenarannya,” tegas Iwan.
Ia berharap Majelis Hakim menilai perkara tersebut secara objektif, bijaksana, dan dengan hati nurani yang adil. Iwan juga menuturkan bahwa selama menjabat sebagai Kepala Dinas Kebudayaan sejak tahun 2020, dirinya berupaya keras memulihkan sektor seni budaya yang terpuruk akibat pandemi COVID-19. Ia menjelaskan bahwa program Pagelaran Seni Budaya Berbasis Komunitas yang menjadi pokok perkara merupakan upaya pemerintah daerah untuk membantu para pekerja seni di masa sulit.
“Kegiatan itu lahir dari semangat memulihkan kehidupan seniman dan budaya Jakarta. Namun kini justru dijadikan dasar tuduhan korupsi kepada saya, padahal pelaksanaan teknis dan pertanggungjawabannya ada di bawah KPA yang telah ditunjuk, bukan saya pribadi,” jelasnya.
Kuasa hukum terdakwa, Rudi Haryanto, dalam pembelaannya menilai dakwaan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum mengandung kelemahan mendasar dan tidak memenuhi unsur formil tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Kami menilai dakwaan ini lebih bersifat persepsi daripada fakta hukum. Klien kami tidak terlibat langsung dalam pengadaan maupun pertanggungjawaban kegiatan, karena kewenangan tersebut telah didelegasikan secara sah kepada Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagaimana diatur dalam PP No. 12 Tahun 2019,” ujarnya di persidangan.
Ia menambahkan, sepanjang proses hukum berjalan, kliennya telah bersikap kooperatif, menyerahkan seluruh dokumen yang diminta penyidik, dan tidak pernah berupaya menghalangi penyelidikan.
“Tidak ada sepeser pun aliran dana yang masuk ke rekening klien kami. Semua tuduhan bahwa ia menerima uang di Hotel Grand Aliya Cikini itu tidak benar dan sudah terbantahkan di persidangan,” tegasnya.
Ia pun menutup pembelaannya dengan penegasan bahwa dirinya siap menanggung segala konsekuensi jabatan selama proses hukum berjalan, asalkan kebenaran tetap ditegakkan.
“Saya yakin Majelis Hakim Yang Mulia akan memutus dengan hati nurani yang bersih, bukan karena tekanan, bukan karena opini, tetapi karena kebenaran hukum itu sendiri,” pungkasnya.
Majelis Hakim Akan Pertimbangkan Pledoi
Sidang kemudian ditutup oleh Ketua Majelis Hakim dengan menyatakan bahwa pihaknya akan mempelajari dan mempertimbangkan seluruh isi nota pembelaan terdakwa dan kuasa hukumnya sebelum menjatuhkan putusan.
Kasus ini sendiri bermula dari kegiatan Pagelaran Seni Budaya Berbasis Komunitas dan Event Jakarta Natal Tahun Anggaran 2020–2024 yang diduga menimbulkan kerugian negara. Jaksa mendakwa Iwan dengan pasal berlapis, namun pihak terdakwa menegaskan tidak memiliki tanggung jawab langsung dalam pelaksanaan kegiatan tersebut karena telah didelegasikan kepada pejabat pelaksana teknis.
(AR)