Jakarta, ebcmedia.id – Mantan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, mengakui dirinya khilaf karena telah menerima uang suap dalam penanganan perkara korupsi terkait pemberian fasilitas ekspor untuk tiga perusahaan crude palm oil (CPO).
“Mengenai ada uang, itulah salah saya dan khilaf saya, saya akui memang seperti itu,” ujar Arif dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada PN Jakarta Pusat, Rabu (15/10/2025).
Pernyataan itu disampaikan saat Arif diperiksa sebagai saksi mahkota dalam perkara dugaan suap terhadap majelis hakim yang menangani kasus korupsi tiga korporasi CPO tersebut.
Meski mengaku menerima uang dari Ariyanto, pengacara perusahaan CPO, Arif berdalih tidak pernah memberikan arahan khusus kepada majelis hakim yang menyidangkan perkara itu.
“Ini benar-benar saya sampaikan kepada majelis atau Pak Djuyamto (ketua majelis kasus CPO), saya tidak pernah bilang seperti itu. Hanya, pelajari baik-baik dan sidangkan sesuai hukumnya,” jelasnya.
Keterangan Arif itu langsung ditanggapi jaksa penuntut umum (JPU) Triyana Setia Putra yang mempertanyakan logika di balik pernyataannya.
“Kalau sudah ada uang, sidangnya juga sudah tidak baik-baik sebetulnya?” tanya jaksa Triyana kepada Arif, membuat mantan Wakil Ketua PN Jakarta Pusat itu sempat terlihat gugup.
Arif kemudian menegaskan bahwa meskipun menerima uang suap, ia tetap berusaha menjaga integritas para hakim yang terlibat.
“Tapi, tetap saya menjaga kepada teman-teman majelis ini,” imbuhnya.
Dalam perkara ini, jaksa mendakwa lima orang hakim dan pegawai pengadilan atas penerimaan suap dengan total mencapai Rp40 miliar. Arif disebut menerima Rp15,7 miliar, sementara Wahyu Gunawan, panitera muda nonaktif PN Jakarta Utara, menerima Rp2,4 miliar.
Adapun Djuyamto, ketua majelis hakim, menerima Rp9,5 miliar, sedangkan dua hakim anggota, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin, masing-masing mendapatkan Rp6,2 miliar.
Atas pemberian uang tersebut, majelis hakim yang dipimpin Djuyamto kemudian menjatuhkan vonis lepas bagi tiga korporasi besar, yakni Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group.
Sementara itu, Arif dan Wahyu diduga berperan dalam proses negosiasi dan upaya memengaruhi majelis hakim agar putusan sesuai dengan permintaan pihak pemberi suap.
(Red)