Jakarta, ebcmedia.id – Mantan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga (PT PPN), Riva Siahaan, meminta majelis hakim membebaskannya dari dakwaan kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah. Ia menegaskan bahwa seluruh tindakannya selama menjabat semata-mata merupakan pelaksanaan tugas dan fungsi sesuai jabatan.
Permintaan itu disampaikan melalui tim kuasa hukumnya saat membacakan eksepsi atau nota keberatan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (16/10/2025).
Pihak kuasa hukum menyebut, Riva tidak pernah menikmati keuntungan pribadi dari proyek pengadaan tersebut. Bahkan, pemberitaan yang berkembang dinilai telah mencoreng nama baik klien mereka.
“Bahkan menjadi headline di pemberitaan hingga semakin menyudutkan Terdakwa, kesannya Terdakwa seperti penjahat besar atau mafia padahal sebagaimana telah disampaikan Terdakwa ketika menanggapi surat dakwaan itu, ia hanya menjalankan pekerjaan saja, sesuai tupoksi dalam perusahaan bahkan dalam surat dakwaan sendiri diakui dalam tanda petik pula kalau Terdakwa tidak ada menerima imbalan apa pun yang tidak sah dalam pekerjaan yang dilakukan,” ucap tim kuasa hukum Riva Siahaan.
Dalam eksepsi tersebut, tim kuasa hukum memohon agar majelis hakim menerima keberatan yang diajukan. Mereka meminta agar surat dakwaan yang disusun tim jaksa penuntut umum dinyatakan batal demi hukum.
“(Memohon majelis hakim) menerima keberatan dari Terdakwa Riva Siahaan, menyatakan surat dakwaan tim jaksa penuntut umum sebagai dakwaan yang batal demi hukum atau setidaknya tidak dapat diterima, menyatakan perkara pidana atas nama Terdakwa Riva Siahaan tidak diperiksa lebih lanjut,” lanjutnya.
Selain pembebasan dari dakwaan, pihak Riva juga menuntut pemulihan penuh atas hak, kedudukan, serta harkat dan martabat kliennya. Mereka meminta seluruh barang bukti yang telah disita agar dikembalikan, termasuk permohonan agar Riva dilepaskan dari status tahanan rumah maupun tahanan negara.
“Membebaskan Terdakwa Riva Siahaan dibebaskan dari tahanan rumah, tahanan negara,” ujarnya.
Dalam dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum, kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah ini disebut menimbulkan kerugian negara mencapai Rp 285 triliun lebih. Jumlah itu mencakup kerugian keuangan negara dan perekonomian nasional.
Rinciannya, kerugian keuangan negara mencapai Rp 70,5 triliun, terdiri dari USD 2,7 miliar atau Rp 45,1 triliun serta Rp 25,4 triliun. Sedangkan kerugian perekonomian negara ditaksir sebesar Rp 215,1 triliun, yang berasal dari kemahalan harga pengadaan BBM serta keuntungan ilegal dari selisih harga impor.
Total kerugian keseluruhan mencapai Rp 285,9 triliun, meski nilai tersebut dapat berubah tergantung kurs yang digunakan dalam perhitungan Kejaksaan Agung.
(Ra)