Jakarta, ebcmedia.id – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta kembali menggelar sidang lanjutan perkara dugaan korupsi di lingkungan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), Senin (20/10/2025). Sidang kali ini beragendakan pemeriksaan terdakwa. Para terdakwa didakwakan terlibat dalam penyimpangan pemberian fasilitas pembiayaan ekspor yang menimbulkan dugaan kerugian negara.
Dalam sidang tersebut, majelis hakim memberikan kesempatan bagi terdakwa untuk memberikan keterangan secara pribadi. Tim kuasa hukum sempat meminta agar pemeriksaan dilakukan dengan memberi waktu istirahat bagi terdakwa, namun majelis tetap mengatur agar perwakilan tetap berada di ruang sidang.
Seusai sidang, Waldus Situmorang selaku kuasa hukum Jimmy Masrin dalam keterangannya menegaskan bahwa LPEI tidak termasuk dalam kategori keuangan negara, sehingga seharusnya perkara ini tidak diproses dalam ranah hukum pidana korupsi, melainkan perdata.
“Ga bisa seharusnya LPEI masuk pidana, terutama bahwa persidangan sewaktu pemeriksaan keuangan negara bahwa uang LPEI itu bukan keuangan negara. Karena itu masuk dalam rejim perdata,” jelas Waldus.
Ia mengutip ketentuan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang menyebut kekayaan negara yang dipisahkan hanya berlaku untuk perusahaan negara (BUMN) atau perusahaan daerah (BUMD).
“Kalau dia keuangan negara, Pasal 2 Undang-Undang 17 Tahun 2003 itu tegas menyatakan bahwa kekayaan yang dipisahkan itu ditujukan kepada perusahaan negara atau daerah. Sedangkan LPEI ini lembaga khusus, punya aturan sendiri, bersifat sui generis, sovereign, dan lex specialis,” terang Waldus.
Menurutnya, dengan status sebagai lembaga khusus yang berdaulat dan memiliki regulasi tersendiri, maka pengelolaan keuangan LPEI seharusnya tunduk pada hukum perdata, bukan pidana.
“Jadi rejimnya itu rejim perdata, tidak bisa digeser ke pidana,” tegasnya.
Lebih lanjut, Waldus mengungkap bahwa dana yang disebut dalam perkara ini telah dikembalikan melalui skema angsuran, sehingga tidak menimbulkan kerugian negara.
“Uang itu kembali, lewat angsuran. Kan 400 miliar dalam 4 tahun. Uangnya tidak bekerja untuk cari uang, tidur-tidur aja uangnya. Filosofi uang itu kan uang mencari uang,” ucapnya.
Kuasa hukum juga menanggapi soal adanya pengajuan Justice Collaborator (JC) oleh Terdakwa Newin Nugroho dalam perkara ini. Menurut Waldus, pengajuan tersebut tidak memenuhi syarat karena dilakukan oleh pelaku utama dan di tahap akhir persidangan.
“Saya juga nggak mengerti, karena aturan JC itu tidak boleh untuk pelaku utama. JC itu biasanya diajukan di awal, bukan di ujung persidangan,” ujar Waldus.
Ia menjelaskan bahwa berdasarkan pengalamannya dalam beberapa perkara di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), JC harus diajukan terlebih dahulu kepada jaksa penuntut, bukan langsung ke majelis hakim.
“Prosedurnya itu pertama, dia bukan pelaku utama. Kalau pelaku utama, nggak bisa dong. Harusnya ke jaksa dulu supaya dipertimbangkan. Tapi tadi jaksa bilang belum ada permohonan yang diterima,” tutur Waldus.
Ia juga menilai bahwa langkah tersebut bisa menimbulkan kesan strategis atau bahkan politis di tengah proses pembuktian. Meski demikian, Waldus mengakui bahwa secara hukum tidak ada larangan absolut untuk mengajukan JC di tengah persidangan, meskipun hal itu tidak ideal.
“Saya bilang ini kamu sudah buka genderang perang. Kamu siap-siap. Jangan-jangan ada sesuatu di balik itu. Kalau dia mengajukan JC, itu di luar skema pengajuan JC pada umumnya,” tambahnya.
Kasus ini bermula dari dugaan penyalahgunaan wewenang dalam pemberian fasilitas pembiayaan ekspor oleh LPEI kepada sejumlah korporasi yang dianggap tidak memenuhi syarat kelayakan kredit. Berdasarkan hasil penyidikan, terdapat indikasi kerugian negara yang mencapai ratusan miliar rupiah akibat tidak tertagihnya sejumlah pembiayaan tersebut.
Jimmy Masrin, yang saat itu menjabat sebagai Komisaris LPEI, didakwa turut mengetahui dan menyetujui skema pembiayaan yang kemudian dianggap bermasalah. Namun pihaknya membantah keras tuduhan tersebut, dengan alasan bahwa keputusan pembiayaan dilakukan oleh direksi, sementara komisaris hanya menjalankan fungsi pengawasan.
“Komisaris kan duduk-duduk aja, nunggu laporan aja. Si Jimmy itu komisaris, bukan pelaku utama, kita akan buka semua dalam kesempatan berikutnya. Karena ini bukan pidana, tapi perdata. Itu yang akan kita perjuangkan,” tutup Waldus Situmorang.
(AR)