Kuasa Hukum Terdakwa Soroti KPK Tidak Pernah Meminta Audit Kerugian Negara Atas PT. ASDP Kepada BPK

oleh
oleh
Kuasa hukum terdakwa PT ASDP. Foto: AR
banner 468x60

Jakarta, ebcmedia.id – Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi di PT ASDP kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, dengan agenda pemeriksaan dua saksi ahli dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Selasa (21/10/2025). Kedua ahli yang dihadirkan oleh Majelis Hakim adalah Dian Kartikasari Widyaningrum, ahli laporan pemeriksaan dan kepatuhan pengelolaan kegiatan investasi, serta Teguh Siswanto, ahli metodologi penghitungan kerugian negara.

Dalam keterangannya di hadapan majelis hakim, Dian Kartikasari menjelaskan bahwa pemeriksaan yang dilakukan BPK terhadap PT ASDP merupakan audit kepatuhan pengelolaan investasi tahun buku 2022, yang tujuannya adalah menguji kesesuaian pengelolaan investasi dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ia menegaskan, audit tersebut bukan merupakan audit perhitungan kerugian negara, melainkan untuk menilai kepatuhan administratif dan operasional.

“Tujuan pemeriksaan kami adalah untuk menilai kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan, bukan menghitung kerugian negara,” ujar Dian di persidangan.

Dari hasil audit tersebut, BPK menemukan dua temuan utama. Pertama, perjanjian pengambilalihan saham bersyarat terkait KMP Marisa Nusantara belum sepenuhnya melindungi kepentingan PT ASDP karena keterlambatan perbaikan kapal.

Kedua, dua kapal hasil akuisisi, KMP Marisa Nusantara dan KMP Mahkota Nusantara, belum dapat beroperasi sesuai jadwal yang telah ditetapkan. Keterlambatan tersebut menyebabkan potensi kehilangan pendapatan (opportunity loss) dengan nilai mencapai Rp4,8 miliar. Rinciannya, opportunity loss dari dua kapal sebesar Rp1,3 miliar, sedangkan biaya perbaikan yang belum diganti oleh manajemen PT. JN lama mencapai Rp3,49 miliar.

Berdasarkan laporan pemantauan hingga semester I tahun 2024, tindak lanjut atas rekomendasi audit kepatuhan PT ASDP baru mencapai 91,6%, dengan sebagian masih berstatus belum sesuai.

Sementara itu, ahli BPK Teguh Siswanto menjelaskan secara rinci metodologi penghitungan kerugian negara. Ia menyebutkan, untuk menghitung kerugian negara secara resmi harus ada permintaan tertulis dari aparat penegak hukum, seperti KPK, Polri, atau Kejaksaan Agung. Tanpa adanya permintaan tersebut, BPK tidak berwenang melakukan perhitungan kerugian negara.

“Perhitungan kerugian negara hanya bisa dilakukan jika ada permintaan resmi dari aparat penegak hukum dan berada pada tahap penyidikan. Jika masih tahap penyelidikan, BPK tidak dapat melaksanakan perhitungan,” terang Teguh dalam persidangan.

Ia menambahkan, proses penghitungan dilakukan melalui tahapan perencanaan, pelaksanaan, pengujian bukti, hingga penyusunan laporan hasil pemeriksaan investigatif. Hasil akhir harus menunjukkan adanya penyimpangan yang menimbulkan kerugian negara yang nyata dan pasti, bukan sekadar potensi kehilangan pendapatan.

“Kerugian negara dinyatakan ketika terdapat kekurangan uang, surat berharga, atau barang yang nyata dan pasti jumlahnya akibat perbuatan melawan hukum,” ujarnya.

Usai sidang, kuasa hukum terdakwa Ira Puspadewi, Soesilo Aribowo, memberikan tanggapan atas keterangan kedua ahli dari BPK tersebut. Ia menilai masih ada inkonsistensi dalam pemahaman mengenai kewenangan BPK dan penegasan makna kerugian negara.

“Saya sayangkan, ahli BPK tidak memahami Putusan Mahkamah Konstitusi, yang jelas menyatakan bahwa hanya BPK yang berwenang mendeklarasikan adanya kerugian negara. Yang lain boleh menghitung, tapi yang menyatakan atau mendeklarasikan tetap BPK,” kata Soesilo.

Melihat fakta persidangan hari ini, unsur kerugian negara tidak terpenuhi secara hukum, sehingga dakwaan jaksa KPK terhadap kliennya menjadi tidak berdasar. Ia juga menyoroti fakta bahwa selama penyidikan tidak pernah ada surat permintaan resmi dari KPK kepada BPK untuk melakukan audit penghitungan kerugian negara dalam kasus ini.

“Tadi terungkap, KPK tidak pernah bersurat ke BPK untuk meminta audit kerugian negara. Jadi, BPK tidak pernah melakukan audit investigatif atau perhitungan resmi kerugian negara. Artinya, tidak ada dasar hukum yang menyatakan telah terjadi kerugian negara dalam kasus ini,” tegasnya.

Lebih lanjut, Soesilo menilai bahwa temuan audit BPK bersifat administratif dan tidak menunjukkan adanya kerugian negara yang nyata dan pasti.

“Hasil audit justru menunjukkan 91,9% kepatuhan, dan potensi kerugian atau opportunity loss bukan bagian dari perhitungan kerugian negara, yang dilakukan BPK terhadap ASDP adalah audit kepatuhan, bukan audit perhitungan kerugian negara. Audit kepatuhan itu hanya menilai sejauh mana tata kelola dan administrasi sesuai ketentuan, bukan menghitung kerugian yang nyata” ujar Soesilo.

Kuasa hukum berharap majelis hakim dapat mempertimbangkan fakta-fakta ini secara objektif dalam menilai perkara, selain hal tersebut fakta itu justru menguatkan pembelaan kliennya dan membuka ruang bagi majelis hakim untuk menilai ulang validitas dakwaan jaksa.

“Kami percaya majelis akan melihat bahwa perkara ini tidak memenuhi unsur kerugian negara sebagaimana disyaratkan undang-undang. Karena tanpa kerugian negara, tidak bisa disebut korupsi,” pungkas Soesilo.

Sidang hari ini menegaskan perbedaan mendasar antara audit kepatuhan dan audit kerugian negara, serta memperjelas posisi hukum bahwa tidak ada perhitungan resmi kerugian negara oleh BPK dalam kasus ASDP.

(AR)

No More Posts Available.

No more pages to load.