Jimmy Masrin di Sidang LPEI: Bayar Utang PT Petro Energy Adalah Bentuk Tanggung Jawab Moral

oleh
oleh
banner 468x60

Jakarta, ebcmedia.id – Sidang lanjutan perkara dugaan korupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dengan terdakwa Jimmy Masrin kembali digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (24/10/2025). Sidang yang dipimpin Hakim Ketua Brelly Yuniar Dien Wardi Haskori dengan agenda pemeriksaan terdakwa.

Selain Jimmy, hadir pula dua terdakwa lain dalam berkas terpisah, yakni Susi Mira Dewi Sugiarta dan Newin Nugroho, yang disebut turut berperan dalam pengelolaan keuangan PT Petro Energy.

Dalam keterangannya, Jimmy menjelaskan dirinya merupakan pendiri sekaligus pemegang saham mayoritas tidak langsung di PT Petro Energy melalui PT Catur Karsa Megatunggal. Jimmy juga menegaskan, sebagai Presiden Komisaris, perannya sebatas memberi arahan dan pengawasan.

“Petro Energy awalnya merupakan divisi dari PT Lautan Luas pada 2008–2009, kemudian berdiri sebagai entitas mandiri pada 2011, dan sebagai Komisaris, saya tidak terlibat dalam kegiatan operasional maupun keputusan bisnis harian. Semua dijalankan oleh direksi” terang Jimmy di hadapan majelis hakim.

Menjawab pertanyaan jaksa, Jimmy menyebut seluruh proses pengajuan pinjaman dari Bank DBS, Bank Permata, hingga LPEI dilakukan sepenuhnya oleh direksi. Komisaris hanya memberikan persetujuan atas dasar laporan resmi dari direksi.

“Pinjaman dari LPEI mulai kami ajukan pada 2015 untuk kebutuhan modal kerja perusahaan. Tidak ada kepentingan pribadi di sana,” tegasnya.

Ia menyebut telah menandatangani Perjanjian Jaminan Pribadi (Personal Guarantee) pada tanggal 24 Mei 2021 di hadapan notaris Dewantari Handayani, dengan nilai jaminan sebesar USD 30 juta dan jangka waktu pembayaran 2021–2025.

Pembayaran dilakukan secara bertahap melalui PT Catur Karsa Megatunggal sebesar USD 10 juta dan PT Pada Idi sebesar USD 50 juta, dengan tenor hingga 2028.

“Pembayaran dilakukan tiap triwulan, dan LPEI selalu menerbitkan surat performing loan sebagai bukti,” ungkap Jimmy.

Saat menjawab pertanyaan hakim terkait kewenangan pascapailit, Jimmy mengakui bahwa secara hukum urusan perusahaan yang pailit memang berada di bawah kurator. Namun, inisiatif pembayaran tetap dilakukan demi menunjukkan itikad baik.

“Langkah ini diambil untuk menjaga reputasi dan tanggung jawab moral,” katanya.

Jimmy juga menegaskan bahwa seluruh kesepakatan dengan LPEI, termasuk perjanjian jual beli piutang (cessie), dilakukan dengan sepengetahuan kurator.

Usai sidang, Kuasa hukum terdakwa Jimmy Masrin, Waldus Situmorang, menegaskan bahwa dalam konteks kepailitan suatu korporasi, seluruh tanggung jawab dan kewenangan atas aset perusahaan secara hukum beralih kepada kurator, karena seluruh proses pengelolaan aset pailit berada di bawah kendali kurator, maka tidak semestinya kliennya dipandang telah merugikan keuangan negara atau melampaui kewenangan.

“Ketika terjadi kepailitan dalam suatu korporasi, maka tugas pengurusan dan pemberesan diambil alih oleh kurator. Kurator itulah yang memiliki kewenangan menjual harta boedel pailit untuk membayar atau mengembalikan utang perusahaan, dengan begitu, tidak ada kerugian yang ditimbulkan dari pihak klien kami. Semua tindakan sudah dalam koridor hukum kepailitan dan atas persetujuan kurator,”ujarnya.

Waldus menegaskan bahwa setiap transaksi atau penjualan aset perusahaan dilakukan berdasarkan perjanjian dan kesepakatan yang sah secara hukum, bukan tindakan sepihak.

“Korporasi dalam kondisi pailit tetap tunduk pada ketentuan Undang-Undang Kepailitan. Kesepakatan dengan pihak lain untuk pembayaran utang dilakukan berdasarkan perjanjian yang sah dan permanen,” tegasnya.

Ia juga menjelaskan bahwa hubungan bisnis yang dijalankan oleh Jimmy Masrin didasarkan pada asas kepercayaan yang tinggi di antara para pihak, sebagaimana lazimnya praktik dunia usaha.

“Dalam bisnis, kepercayaan adalah segalanya. Bila tidak ada kepercayaan, maka kerja sama tidak akan berjalan. Klien kami selalu menjaga nama baik dan reputasi perusahaan, itu yang menjadi prinsip utama,” tutur Waldus.

Menanggapi pertanyaan seputar periode 2015 hingga 2019, Waldus menyebut bahwa kliennya kerap menerima laporan secara lisan maupun tertulis dari pengelola perusahaan. Namun, ada sejumlah informasi yang baru diketahui jauh setelah peristiwa terjadi.

“Klien kami tidak setiap hari terlibat langsung dalam kegiatan operasional. Sebagai pengusaha dan pemegang saham di beberapa perusahaan holding, tentu tidak semua bisa diawasi secara harian. Namun, ketika muncul gejolak atau permasalahan, barulah ia turun langsung untuk menyelesaikannya,” terangnya

Waldus juga menambahkan bahwa dalam struktur hukum korporasi, peran direksi dan komisaris memiliki batasan sebagaimana diatur dalam Pasal 108 Undang-Undang Perseroan Terbatas, yang menegaskan bahwa fungsi pengawasan dilakukan berdasarkan kebijakan, bukan intervensi operasional harian.

“Kita harus melihat proporsinya. Pengawasan direksi dan komisaris tidak berarti mencampuri setiap tindakan operasional. Jadi tuduhan bahwa klien kami mengetahui atau mengarahkan pelanggaran itu tidak berdasar,” tegas kuasa hukum.

Majelis hakim menunda sidang dan menjadwalkan pemeriksaan terhadap saksi ad a charge pada pekan depan. Kuasa hukum menyatakan siap menghadirkan bukti tambahan juga ahli untuk menunjukkan bahwa seluruh tindakan kliennya dilakukan sesuai prosedur hukum.

“Kami akan buktikan bahwa klien kami tidak memperkaya diri sendiri, justru beritikad baik menyelesaikan kewajiban perusahaan,” pungkas Waldus Situmorang.

(AR)

No More Posts Available.

No more pages to load.