Jakarta, ebcmedia.id – Sidang lanjutan perkara dugaan korupsi dalam pemberian fasilitas kredit oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) kepada PT Petro Energy kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (27/10/2025). Persidangan dihadiri oleh ketiga terdakwa, yakni Jimmy Masrin, Susy Mira Dewi, dan Newin Nugroho.
Sidang kali ini menghadirkan Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang, S.H., M.H., ahli hukum keuangan publik dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang memberikan keterangan mengenai status hukum LPEI, kekayaan negara yang dipisahkan, serta implikasi hukum terhadap dugaan penyimpangan dalam pemberian fasilitas pembiayaan.

Dalam keterangannya, Dr. Dian menjelaskan bahwa LPEI bukan lembaga negara, melainkan badan hukum khusus (sui generis) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang LPEI.
“LPEI tidak termasuk lembaga negara sebagaimana disebut dalam UUD 1945 maupun undang-undang kelembagaan lainnya. Ia merupakan badan hukum yang memiliki kekayaan sendiri, terpisah dari APBN, karena penyertaan modal negara di LPEI bersifat pengalihan kepemilikan,” ujar Dr. Dian di hadapan majelis hakim.
Menurutnya, konsep kekayaan negara yang dipisahkan berarti negara tidak lagi memiliki langsung aset tersebut, melainkan telah menjadi milik LPEI sebagai badan hukum mandiri. Karena itu, mekanisme keuangan LPEI tunduk pada hukum perdata dan hukum dagang, bukan hukum publik.
“Ketika modal disetor ke LPEI, itu bukan lagi keuangan negara. Ia menjadi kekayaan korporasi yang dikelola sesuai prinsip kehati-hatian lembaga keuangan,” jelas Dr. Dian.
Dalam sesi tanya jawab, Soesilo Aribowo, selaku kuasa hukum terdakwa Jimmy Masrin, menyoroti dasar hukum yang digunakan ahli dalam menyimpulkan bahwa kekayaan LPEI tidak termasuk keuangan negara. Soesilo mengacu pada Pasal 19 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009, yang menyebutkan bahwa modal awal LPEI sebesar Rp4 triliun berasal dari APBN, dan jika terjadi pengurangan, maka kekurangannya dapat ditutupi kembali melalui mekanisme APBN.
Ia menambahkan, transformasi dana APBN ke dalam LPEI membuat aset tersebut menjadi kekayaan khusus LPEI, bukan lagi milik negara.
“Ketika sudah menjadi kekayaan LPEI, segala kewajiban dan risikonya menjadi tanggung jawab lembaga, bukan negara. Bahkan, utang yang timbul pun merupakan utang LPEI, bukan utang negara,” tegasnya.
Soesilo juga mempertanyakan dasar perhitungan kerugian negara dalam perkara ini, mengingat utang PT Petro Energy terhadap LPEI masih berjalan dan sebagian telah dibayar.
“Kalau memang dianggap ada kerugian, seharusnya ketika pembayaran dilakukan kepada LPEI, dikembalikan. Faktanya, pembayaran masih diterima sampai sekarang, jadi di mana letak kerugian negaranya?” ujarnya.
Menurut Soesilo, audit resmi yang dilakukan BPKP pun hanya mencakup periode 2015–2019, tanpa melihat kondisi secara menyeluruh bahwa hubungan bisnis antara LPEI dan PT Petro Energy telah diselesaikan sebagian besar.
“Jadi, kalau melihat secara holistik, tidak ada lagi kerugian negara. Ini murni persoalan bisnis, bukan tindak pidana korupsi,” tegas Soesilo.
Menanggapi hal itu, Dr. Dian Puji menegaskan bahwa penyertaan modal dari negara ke LPEI merupakan bentuk pengalihan kepemilikan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Keuangan Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014.
“Setelah disertakan, aset itu bukan lagi milik negara, tetapi menjadi milik badan hukum penerima. Karena itu, tidak bisa dikategorikan sebagai keuangan negara,” jelas Dr. Dian.
Ia juga menegaskan bahwa pelanggaran atau penyimpangan dalam aktivitas LPEI tidak otomatis menjadi tindak pidana korupsi, melainkan diselesaikan melalui mekanisme hukum perdata.
“Kalau perkaranya berasal dari kontrak bisnis, penyelesaiannya tetap perdata. Tidak semua penyimpangan lembaga keuangan otomatis menjadi kasus korupsi,” ujarnya.
Hal senada disampaikan Waldus Situmorang, juga tim kuasa hukum dari Jimmy Masrin, yang menilai bahwa keterangan ahli memperkuat posisi pembelaan terdakwa.
“Keterangan ahli jelas mempertegas bahwa LPEI tunduk pada hukum perdata. Risiko pembiayaan adalah risiko bisnis, bukan kerugian negara. Jadi, tidak tepat jika perkara ini ditarik ke ranah tindak pidana korupsi,” tegas Waldus.
Dalam bagian akhir persidangan, Dr. Dian juga mengingatkan pentingnya audit investigatif dalam perkara yang menyangkut keuangan lembaga negara maupun lembaga pembiayaan milik negara.
“Mengacu pada UU Nomor 15 Tahun 2004 jo. UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, laporan hasil audit investigatif harus sudah ada sejak tahap penyelidikan. Penetapan tersangka tanpa adanya audit resmi menyalahi prinsip administrasi keuangan negara,” tutupnya menegaskan.
Sidang akan kembali dilanjutkan pekan depan dengan agenda pemeriksaan ahli kerugian negara.
(AR)









