Jakarta, ebcmedia.id – Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kembali menggelar sidang lanjutan perkara dugaan penyimpangan impor gula pada Senin, 27 Oktober 2025. Sidang kali ini beragendakan pembacaan replik oleh penuntut umum atas duplik tim penasihat hukum terdakwa.

Dalam repliknya, penuntut umum menegaskan masih memiliki tiga alat bukti yang dijadikan dasar penuntutan, yaitu:
1. Surat persetujuan impor,
2. Laporan keuangan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan
3. Dokumen perjanjian kerja sama dan jual beli.
Namun, tim kuasa hukum menilai seluruh dalil dan alat bukti tersebut “salah total dan dibuat tanpa nurani yang adil.”
Menurut pembela, dokumen-dokumen itu pada dasarnya bersumber dari tindakan dan keputusan yang ditandatangani oleh mantan Menteri Perdagangan RI, Tom Lembong, yang telah mendapatkan penghapusan hukum melalui Keputusan Presiden (Kepres) tentang Pemberian Abolisi.
“Keputusan Presiden secara tegas menghapus seluruh tindakan hukum Tom Lembong. Maka secara logika hukum, semua dokumen yang timbul dari tindakannya harus dianggap tidak pernah ada,” ujar tim kuasa hukum dalam dupliknya di hadapan majelis hakim.
Mereka menilai penuntut umum mengabaikan fakta bahwa seluruh proses impor gula tersebut tidak akan pernah terjadi tanpa adanya surat persetujuan dari Tom Lembong. Oleh karena itu, dasar hukum penuntutan dianggap telah gugur secara otomatis setelah keluarnya Kepres Abolisi.
Meski demikian, penuntut umum dalam repliknya tetap berpegang pada hasil audit BPKP yang mencakup periode 2015–2019. Pihak kejaksaan menilai hasil audit tersebut masih sah dan tetap berlaku sebagai alat bukti keuangan negara.
Namun, tim pembela menyebut dalil tersebut tidak memiliki logika hukum dan nurani hukum, karena jika hasil audit itu masih digunakan, maka Tom Lembong seharusnya juga masih dipidana, padahal seluruh tindakannya telah dihapus secara hukum oleh Kepres.
“Kami meyakini bahwa sebenarnya penuntut umum memahami hal ini, namun penuntut umum hanya menjalankan perintah dari atas,” tambah kuasa hukum dalam sidang.
Mereka menegaskan, seluruh tindakan hukum yang didasarkan pada perbuatan Tom Lembong seharusnya dianggap tidak pernah ada, dan tidak lagi memiliki kekuatan pembuktian di hadapan hukum.
Keterangan ahli yang dihadirkan sebelumnya juga memperkuat pandangan tersebut. Dalam keterangannya, ahli menjelaskan bahwa abolisi secara hukum berarti pidana atas perbuatan tersebut dianggap tidak pernah ada.
Dengan demikian, tim pembela menyimpulkan bahwa tuntutan penuntut umum tidak memiliki dasar hukum yang kuat, dan seluruh perkara yang berakar dari tindakan hukum yang telah dihapuskan melalui abolisi seharusnya dinyatakan tidak sah.
(Dhii)







