Jakarta, ebcmedia.id – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta kembali menggelar sidang lanjutan perkara dugaan korupsi kredit macet di Bank Negara Indonesia (BNI) yang mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp34,51 miliar, Selasa (28/10/2025). Sidang kali ini beragenda mendengarkan keterangan saksi-saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Dalam perkara ini, empat orang didakwa, masing-masing Lia Hertika Hudayani, Ferry Syarfariko, Nazal Gilang Romadhon, serta Lilys Yuliana alias Sansan yang hingga kini masih berstatus Daftar Pencarian Orang (DPO). Keempatnya diduga terlibat dalam pemberian fasilitas kredit yang tidak sesuai dengan ketentuan hingga menyebabkan kerugian negara melalui kredit macet.
Sidang yang dipimpin oleh majelis hakim Tipikor Jakarta ini menghadirkan empat saksi dari pihak BNI, yaitu Hendra Nuryawan (pensiunan pegawai BNI Cabang Daan Mogot periode 2022–2023), Estu Prabowo (Head of Pension Fund), Ronald David A (Pemimpin Sentra Bisnis SME BNI Jakarta Kota), dan Ir. Yongker Hutahaean (Pemimpin Sentra Kredit Kecil BNI).
Keempat saksi memberikan keterangan mengenai prosedur pemberian fasilitas kredit, mekanisme analisis kelayakan, hingga pengawasan penggunaan dana dan proses penagihan ketika terjadi gagal bayar.
Saksi Hendra dan Estu menjelaskan bahwa setiap proses pemberian kredit di BNI seharusnya melalui tahapan analisis menyeluruh, termasuk penilaian jaminan dan kemampuan bayar debitur. Ia mengaku tidak mengetahui secara rinci keputusan akhir terkait kredit yang kini bermasalah tersebut.
Saksi Ronald David A menegaskan bahwa kebijakan kredit di segmen usaha kecil dan menengah (SME) pada prinsipnya harus berpedoman pada asas kehati-hatian. Ia menyebut setiap cabang diwajibkan mengikuti ketentuan internal BNI serta regulasi otoritas perbankan.
Sedangkan Ir. Yongker Hutahaean mengungkapkan adanya kejanggalan dalam proses realisasi kredit kepada sejumlah debitur. Menurutnya, pengawasan pasca kredit perlu diperketat agar tidak menimbulkan potensi kerugian bagi bank.
Usai persidangan, kuasa hukum terdakwa Lia Hertika Hudayani, Erdi Surbakti, S.H., M.H. menegaskan bahwa kliennya tidak memiliki peran dalam proses persetujuan kredit yang menjadi pokok perkara. Ia menilai, dari keterangan para saksi yang dihadirkan hari ini, tidak ada satu pun yang menunjukkan keterlibatan langsung Lia dalam pengambilan keputusan kredit.
“Dari seluruh saksi yang hadir, tidak ada yang menyebut bahwa klien kami berperan menentukan atau menyetujui pencairan kredit tersebut. Justru peran utama dalam keputusan pemberian kredit berada di level pimpinan cabang dan pejabat pemutus kredit,” ujar Erdi usai persidangan.
Erdi juga menyoroti adanya proses administrasi dan struktur kerja di BNI yang menurutnya tidak sepenuhnya diuraikan dalam dakwaan. Ia menjelaskan bahwa kliennya hanya bertugas sebagai penyelia dan pelaksana rekomendasi teknis, bukan pengambil keputusan akhir.
“Kami melihat ada proses yang tidak proporsional dalam penentuan tanggung jawab. Klien kami bekerja sesuai arahan dan prosedur, tanpa kewenangan menentukan pencairan dana. Oleh karena itu, tuduhan turut serta menyalahi prinsip kehati-hatian tidak tepat,” tambahnya.
Lebih lanjut, pihak kuasa hukum juga meminta majelis hakim agar memerintahkan kehadiran saksi tambahan yang dianggap penting untuk memperjelas struktur tanggung jawab internal dalam kasus ini.
“Kami sudah memohon kepada majelis agar pada sidang berikutnya dihadirkan saksi elfian, yang dalam pemeriksaan sebelumnya disebut memiliki peran signifikan dalam proses persetujuan kredit. Kehadiran mereka penting untuk menilai siapa sebenarnya yang berwenang menandatangani dan memutus kredit tersebut,” katanya.
Ketua majelis hakim menegaskan bahwa keterangan saksi-saksi hari ini menjadi bagian penting dalam upaya menemukan konstruksi hukum yang jelas atas peran masing-masing pihak.
“Sidang ditunda dan akan dilanjutkan pekan depan untuk mendalami peran dan tanggung jawab para pihak dalam proses pemberian kredit ini,” ujar Ketua Majelis sebelum menutup persidangan.
Dalam sidang terdahulu, dalam dakwaannya JPU menyebutkan bahwa para terdakwa secara bersama-sama melakukan penyimpangan dalam proses persetujuan dan penyaluran kredit kepada sejumlah debitur yang tidak memenuhi syarat kelayakan. Akibatnya, kredit tersebut gagal tertagih dan menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp34,51 miliar.
Perbuatan para terdakwa, menurut JPU, bertentangan dengan prinsip kehati-hatian perbankan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU Nomor 20 Tahun 2001.
(AR)









