Jakarta, ebcmedia.id – Pemerintah Indonesia secara resmi menyerahkan dokumen Second Nationally Determined Contribution (SNDC) atau NDC Kedua kepada Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC) pada Senin (27/10). Langkah ini dilakukan setelah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menggelar konsultasi publik pada 23 Oktober 2025, kurang dari sebulan menjelang Conference of the Parties (COP30).
Berbeda dari dokumen sebelumnya, SNDC kali ini tidak lagi menggunakan proyeksi penurunan emisi berdasarkan skenario business as usual (BAU). Pemerintah kini menargetkan jumlah absolut emisi gas rumah kaca (GRK) pada 2035, dengan tahun 2019 sebagai acuan. Terdapat tiga skenario perhitungan emisi dalam SNDC, namun dua di antaranya yakni skenario bersyarat atau conditional target, justru menunjukkan kenaikan total emisi hingga 2030 dibandingkan tahun 2019.
Dalam skenario bersyarat bertajuk Low Carbon Compatible with Paris (LCCP-H), pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi hingga 8%. Dalam skema tersebut, emisi setelah memperhitungkan penyerapan dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan (Forestry and Other Land Use / FOLU) diperkirakan mencapai 1.489 juta ton setara karbon dioksida (CO₂e) pada 2035. Tanpa memperhitungkan penyerapan FOLU, total emisi dapat meningkat hingga 1.696 juta ton CO₂e pada periode yang sama.
Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai skenario tersebut masih terlalu tinggi karbon. Lembaga ini menyoroti bahwa SNDC terlalu mengandalkan penyerapan karbon dari sektor FOLU, bukan dari upaya nyata di sektor energi. Akibatnya, puncak emisi nasional baru akan tercapai pada 2035, sebelum menurun tajam menuju 2060.
“Artinya, upaya nyata penurunan emisi baru akan dimulai setelah 2035, bukan dalam dekade ini,” tulis IESR dalam pernyataannya.
IESR juga memperingatkan bahwa penundaan puncak emisi tersebut berisiko tinggi terhadap kegagalan mencapai target Persetujuan Paris, serta dapat menimbulkan biaya mitigasi yang jauh lebih besar di masa depan.
Berdasarkan tolok ukur 1,5°C Climate Action Tracker (CAT), agar sejalan dengan jalur Paris, target emisi absolut Indonesia pada 2035 seharusnya berada di kisaran 720 juta ton CO₂e di luar sektor FOLU. Namun, angka dalam SNDC masih di atas target Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, yakni 760 juta ton CO₂e (termasuk FOLU).
Pada skenario conditional, sektor energi menjadi kontributor utama emisi dengan proyeksi mencapai 1.336 juta ton CO₂e pada 2035 naik 103% dibandingkan 2019. Meski pemerintah menargetkan peningkatan bauran energi terbarukan hingga 19-23% pada 2030 dan 36-40% pada 2040, puncak emisi energi justru mundur ke 2038, lebih lambat dibanding rancangan SNDC sebelumnya.
IESR menilai pembaruan SNDC kali ini hanya memperbarui metode pengukuran tanpa disertai langkah mitigasi yang signifikan. Dokumen tersebut dinilai belum mencerminkan visi Presiden Prabowo Subianto untuk mempercepat transisi energi bersih dan mencapai 100% energi terbarukan dalam waktu 10 tahun.
Chief Executive Officer (CEO) IESR, Fabby Tumiwa, menilai keterlambatan puncak emisi seharusnya bisa dihindari bila pemerintah berani mempercepat transisi energi sesuai arah kebijakan presiden.
“Dengan potensi 3.800 GW energi terbarukan, dan biaya investasi PLTS, PLTB dan baterai (battery) yang semakin menurun, pemanfaatan yang lebih besar akan membuat biaya produksi tenaga listrik jauh lebih murah dan emisi lebih rendah. PLTS dan Battery Energy Storage System (BESS) menghasilkan harga listrik yang lebih kompetitif dari PLTD, PLTG, dan PLTU. Penurunan harga energi terbarukan, menjadi salah satu faktor yang mendukung visi transisi energi Presiden. Dengan energi terbarukan semakin kompetitif, mempertahankan PLTU tua yang seharusnya sudah dapat dipensiunkan, untuk terus beroperasi, justru membuat Indonesia kehilangan mendapatkan harga listrik yang lebih murah,” kata Fabby, Rabu (29/10/2025).
Ia juga mengkritik pendekatan ekonomi dalam model NDC yang menilai aksi iklim ambisius justru menghambat pertumbuhan ekonomi.
“Ini justru berbeda dengan hasil pemodelan Low Carbon Development Indonesia (LCDI) Bappenas di mana aksi iklim yang lebih kuat justru menjadi prasyarat terciptanya pertumbuhan ekonomi tinggi. Transisi energi yang membutuhkan investasi USD 40–50 miliar setiap tahun, yang jika dilakukan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas,” imbuh Fabby.
(Ra)








