Jakarta, ebcmedia.id – Beredarnya surat pribadi yang ditandatangani oleh oknum aparatur sipil negara (ASN) berinisial DWLS dan orang tua siswa EJH, murid kelas V SD Penabur Intercultural School (PIS) Kelapa Gading, menuai sorotan publik. Surat tersebut diketahui berisi tuduhan terhadap siswa lain dan telah dilaporkan ke Polres Metro Jakarta Utara.

Menanggapi hal tersebut, Sekretaris LSM GRACIA (Gerakan Cinta Indonesia), Hisar Sabinus Sihotang, menyampaikan kritik keras terhadap tindakan tersebut.
“Kami menilai tindakan mencantumkan jabatan sebagai seorang Jaksa ataupun ASN dalam surat pengaduan (somasi) secara pribadi terhadap seorang anak Sekolah Dasar adalah bentuk penyalahgunaan atribut negara dengan tujuan pribadi yang dapat menekan psikologis dan institusional terhadap pihak sekolah dan keluarga si anak yang dituduh,” ujar Hisar dalam konferensi pers di sekretariat LSM GRACIA, Jakarta Utara, Rabu (30/10).
Ia menegaskan, tindakan tersebut tidak hanya tidak etis, tetapi juga melanggar sejumlah aturan.
“Tindakan ini sangat tidak etis dan melanggar UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN, UU No. 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan RI, serta Peraturan Jaksa Agung RI No. PER-014/A/1A/11/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa. Sebagai aparat penegak hukum, seharusnya yang bersangkutan menunjukkan contoh netralitas dan objektivitas, bukan malah menimbulkan ketakutan melalui jabatannya,” terang Hisar.

Lebih lanjut, Hisar juga menyoroti adanya kalimat dalam surat tersebut yang dinilainya merendahkan martabat anak.
“Kami menolak narasi merendahkan anak dalam dokumen tertulis. Surat tersebut memuat kalimat-kalimat yang bernada merendahkan martabat seorang anak kecil, seperti ‘pengecut dan tidak mendapat kasih sayang di rumah’,” lanjutnya dengan nada menirukan lirih seorang anak.
Menurutnya, hal tersebut merupakan bentuk kekerasan verbal terhadap anak.
“Ini jelas-jelas bentuk kekerasan verbal terhadap anak dan bertentangan dengan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak serta prinsip pendidikan yang sehat dan membangun,” kata Hisar menambahkan.
Hisar juga mempertanyakan langkah pihak sekolah dalam menangani kasus tersebut. Ia menilai, kebijakan yang diambil terhadap siswa EJH terkesan tidak profesional dan cenderung tendensius, tanpa dasar pembuktian yang objektif.
“Laporan dari berbagai pihak menyebutkan data CCTV tidak menunjukkan adanya tindakan kekerasan seperti yang dituduhkan. Tentunya hal ini tidak sesuai dengan visi dan misi Badan Pendidikan Penabur yang ingin menjadi lembaga pendidikan Kristen unggul dalam iman, ilmu, dan pelayanan,” ujarnya.
Lebih jauh, ia menyesalkan sikap para pendidik di sekolah yang dinilai gagal menjadi penengah.
“Melihat hal-hal yang telah terjadi, kami menyayangkan para pendidik di sekolah itu tidak bisa menjadi penengah dalam suatu masalah yang terjadi. Harusnya mereka para pendidik memanggil kedua orang tua murid untuk duduk bersama dan menyelesaikan masalah dengan baik, bukan malah mengintervensi murid ataupun orang tua murid,” ungkapnya.
LSM GRACIA pun menuntut pihak sekolah untuk menjamin hak pendidikan EJH dan siswa lain secara adil dan bebas diskriminasi.
“Kami mendesak pihak Penabur Intercultural School untuk menjamin hak EJH mendapatkan perlindungan dan pendidikan yang adil, menghentikan segala bentuk diskriminasi, pengucilan ataupun tekanan administratif terhadap siswa, mengusut siapa yang membocorkan isi pertemuan internal yang bersifat rahasia, memastikan proses mediasi masalah antar siswa secara objektif, terbuka, dan tidak mudah terprovokasi oleh tekanan eksternal. Serta segera mengambil sikap tegas ke siswa JGS dan saudara DWLS, si pelapor wajib diberikan sanksi karena sudah memberikan keterangan yang tidak sesuai fakta agar visi dan misi lembaga ini berjalan dengan baik,” pungkas Hisar.
Hingga berita ini ditayangkan belum ada tanggapan dari BPK Penabur.
(Dhii)








