Jakarta, ebcmedia.id – Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis pidana terhadap lima terdakwa dalam perkara dugaan korupsi importasi gula, Kamis (30/10/2025).
Para terdakwa dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat 1 juncto Pasal 18 Undang-Undang Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
“Mengadili, menyatakan para terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan primer, dan oleh karena itu menjatuhkan pidana penjara masing-masing selama empat tahun,” ujar Hakim Ketua Dennie Arsan Fatrika saat membacakan amar putusan di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta.
Hakim juga menjatuhkan pidana tambahan berupa denda sebesar Rp200 juta subsider 4 bulan kurungan, serta uang pengganti (UP) dengan nilai berbeda bagi masing-masing terdakwa. Kelima terdakwa tersebut yakni:
1. Tony Widjaja Ng, dengan uang pengganti Rp150.813.450.163.
2. Eka Sapanca, dengan uang pengganti Rp32.012.809.588,55.
3. Hendrogiarto Tiwow, dengan uang pengganti Rp41.226.293.680,16.
4. Hans Falitha Hutama, dengan uang pengganti Rp74.583.958.290,80.
5. Then Surianto Eka Prasetyo, dengan uang pengganti Rp39.249.282.287,52.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan bahwa uang pengganti yang disebutkan telah disetorkan oleh para terdakwa dan telah dilakukan penyitaan yang sah oleh negara.
“Sejumlah uang pengganti yang disebut dalam amar putusan ini telah diserahkan oleh para terdakwa dan dinyatakan sah sebagai setoran pengganti kerugian keuangan negara,” lanjut Hakim Dennie.
Menanggapi putusan tersebut, kuasa hukum terdakwa Hans Falitha Hutama, Agus Sudjatmoko, menyatakan menghormati putusan majelis, namun menilai ada ketidakkonsistenan dalam pertimbangan hukum dibandingkan dengan perkara serupa yang sebelumnya telah diputus oleh majelis dengan susunan yang sebagian sama.
“Putusan hari ini substansinya hampir sama dengan perkara yang melibatkan Wisnu Indra dan kawan-kawan, namun kami melihat adanya inkonsistensi dalam pertimbangan hukumnya,” ujar Agus kepada wartawan seusai sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Menurut Agus, dalam perkara terdahulu yang ditangani majelis serupa, nilai kerugian negara yang dijadikan dasar tuntutan dan vonis jauh lebih kecil meskipun menggunakan saksi dan alat bukti yang sama.
“Dulu dalam perkara Pak Tom Lembong dan Pak Charles Sitorus, kerugian negara yang disebut hanya sekitar Rp174 miliar. Sekarang, dalam perkara ini, nilainya melonjak hingga lebih dari Rp500 miliar. Padahal saksi dan bukti yang digunakan sama,” jelasnya.
Lebih lanjut, Agus menilai majelis hakim tidak mempertimbangkan aspek abolisi (penghapusan perkara) yang telah diberikan Presiden kepada pihak terkait, yang menurutnya memiliki relevansi langsung terhadap pokok perkara.
“Fakta abolisi itu sudah jelas terungkap dalam persidangan, bahkan memiliki dasar hukum yang kuat. Tapi dalam putusan, majelis sama sekali tidak mempertimbangkannya,” ucap Agus.
Ia menjelaskan bahwa abolisi berarti penghapusan penuntutan pidana sejak awal, bukan sekadar penghapusan hukuman sebagaimana dalam amnesti.
“Kalau abolisi sudah diberikan, maka penuntutan tidak boleh dilakukan lagi karena perbuatannya dianggap tidak ada sejak awal. Jadi bagaimana mungkin seseorang yang sudah diabolisi masih bisa dinyatakan bersalah?” tegasnya.

Agus menegaskan pihaknya bersama kliennya masih akan mempelajari salinan lengkap putusan sebelum menentukan langkah hukum selanjutnya. Ia juga menegaskan bahwa keputusan untuk tidak mengajukan kasasi bukan berarti mengakui kesalahan.
“Kami diberi waktu tujuh hari untuk menyatakan sikap. Jadi kami akan pikir-pikir dulu apakah menerima atau menempuh upaya hukum lanjutan seperti banding, bisa saja seseorang tidak mengajukan kasasi bukan karena menerima kesalahan, tapi karena sudah tidak punya harapan terhadap sistem peradilan yang dianggap tidak memberikan keadilan,” pungkasnya.
(AR)








