Jakarta, ebcmedia.id – Sidang lanjutan perkara dugaan korupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (31/10/2025), dengan agenda mendengarkan keterangan ahli yang diajukan oleh kuasa hukum terdakwa. Persidangan dihadiri oleh ketiga terdakwa, yakni Jimmy Masrin, Susy Mira Dewi, dan Newin Nugroho.

Dua ahli yang dihadirkan hari ini yakni Renato dan Mohamad Mahsun selaku ahli audit forensik memaparkan pandangan akademis dan teknis terkait metode perhitungan kerugian negara yang digunakan oleh auditor pemerintah. Keduanya menilai bahwa perhitungan menggunakan metode Total Loss sebagaimana digunakan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tidak mencerminkan kondisi ekonomi yang sebenarnya.
Ahli Renato menjelaskan bahwa metode Adjusted Total Loss lebih representatif dibanding Total Loss karena memperhitungkan manfaat ekonomi yang diterima negara dari kegiatan pembiayaan. Dalam paparannya, ia menyebut bahwa penyesuaian atau adjustment dilakukan untuk menggambarkan kondisi riil, termasuk adanya pembayaran bunga, penjualan aset, hingga restrukturisasi utang.
“Metode Total Loss menganggap seluruh transaksi merugikan negara begitu terjadi pelanggaran, padahal secara akuntansi pemerintah, kerugian negara hanya dapat diakui bila ada kekurangan nyata terhadap uang, surat berharga, atau barang milik negara,” ujar Renato dalam persidangan.
Ia menambahkan, dana yang dialirkan dari APBN ke LPEI bersifat investasi permanen bukan pengeluaran langsung negara. Karena itu, menurutnya, dugaan adanya kredit bermasalah di LPEI tidak serta-merta menimbulkan kerugian bagi Negara.
Sementara itu, ahli Mahsun menekankan bahwa karakter LPEI berbeda dengan lembaga pemerintah biasa. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009, modal LPEI merupakan kekayaan negara yang dipisahkan sehingga pencatatannya bersifat investasi jangka panjang.
“Perbedaan utamanya terletak pada bagaimana manfaat ekonomi diinventarisasi. Adjusted Total Loss menghitung seluruh arus kas masuk dan keluar, termasuk bunga dan hasil restrukturisasi, sehingga lebih realistis dan sesuai dengan prinsip akuntansi pemerintahan,” kata Mahsun.
Ia juga menunjukkan simulasi perhitungan yang dilakukan dalam pemeriksaan keuangan khusus. Menurutnya, hasil perhitungan menggunakan metode Adjusted Total Loss menunjukkan nilai yang jauh lebih kecil dibanding versi auditor. Dalam laporan BPKP, nilai kerugian disebut mencapai sekitar 20 juta dolar AS atau Rp600 miliar, sementara versi ahli menilai angka tersebut semestinya dikoreksi karena sebagian besar dana telah mengalami pemulihan dan pengembalian manfaat ekonomi.
Ahli juga menjelaskan bahwa dalam perhitungan penyesuaian, unsur denda atau penalty interest dikeluarkan karena tidak merepresentasikan aktivitas ekonomi nyata. Penyesuaian ini mengacu pada dokumen yang digunakan dalam proses PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) pada Oktober 2019, yang menunjukkan tiga komponen pinjaman pokok, bunga, dan denda, baik dalam valuta asing maupun rupiah.
Menurutnya, laporan keuangan interim juga dapat digunakan untuk menilai perkembangan keuangan dalam periode tertentu sebelum laporan tahunan diaudit secara independen. Prinsip akuntansi seperti matching cost with revenue atau amortisasi, katanya, merupakan bagian dari praktik yang sah secara profesional, bukan rekayasa laporan.
Usai sidang, tim kuasa hukum terdakwa Jimmy Masrin, Andi Achmad mengatakan bahwa keterangan ahli semakin menegaskan posisi hukum kliennya.
“Ahli menjelaskan bahwa untuk kasus pembiayaan seperti ini, metode Total Loss tidak tepat. Harus ada penyesuaian-penyesuaian karena pembiayaan di LPEI merupakan bentuk investasi permanen yang memberikan manfaat ekonomi, jadi mungkin metode Adjusted Total Loss lebih representatif” ujar Andi.
Ia menuturkan, penyesuaian yang dimaksud mencakup hasil penjualan aset, bunga yang sudah diterima, saham, hingga jaminan pribadi (personal guarantee) milik Jimmy Masrin senilai 30 juta dolar AS. Setelah seluruh manfaat ekonomi dihitung, kata dia, hasilnya bahkan menunjukkan surplus, bukan kerugian.
“BPKP hanya menghitung nilai fasilitas awal senilai 20 juta dolar AS dan Rp600 miliar tanpa memperhitungkan aset yang sudah dijual maupun bunga yang diterima. Padahal, secara konsep ini bentuknya recoverable loss, artinya masih bisa dipulihkan,” jelasnya.
Menurut Andi, hingga saat ini belum dapat dikatakan terjadi kerugian negara karena kewajiban pembayaran masih berjalan hingga tahun 2028.
“Ahli juga menyatakan bahwa kerugian negara harus nyata dan pasti. Dalam kasus ini masih belum nyata, sehingga belum dapat dikategorikan sebagai kerugian keuangan negara sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004,” tutupnya.
Sidang perkara LPEI ini akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda mendengarkan keterangan ahli tambahan dari pihak terdakwa lainnya.
(AR)


 
											




