Jakarta, ebcmedia.id – Sidang lanjutan perkara dugaan korupsi dalam kerja sama jual beli gas antara PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. (PGN) dan PT Inti Alasindo Energi (IAE) kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (3/11/2025).

Perkara ini menjerat dua terdakwa, yakni Iswan Ibrahim selaku Komisaris PT IAE periode 2006–2023, dan Danny Praditya, mantan Direktur Komersial PGN periode 2016–2019. Keduanya didakwa terlibat dalam kerja sama jual beli gas antara PGN dan IAE yang berlangsung pada periode 2017 hingga 2021.
Agenda persidangan kali ini adalah pemeriksaan saksi dari Jaksa Penuntut Umum (JPU). Lima saksi yang dihadirkan dalam persidangan yakni Sofyan, Endah Paramita, Jerry Apriano, Asep Ahmad Riani, dan Hendy Prio Santoso.
Dalam keterangannya di hadapan majelis hakim, saksi Sofyan menjelaskan bahwa ia mengikuti tiga dari lima kali pertemuan pembahasan kerja sama antara PT Isargas Group dan PGN, yaitu pada 5 September, 14 September, dan 5 Oktober 2017.
Sofyan juga mengungkapkan bahwa pada tahun 2014 pernah dilakukan valuasi terhadap grup Isargas dengan nilai sekitar USD 90–100 juta. Nilai tersebut, katanya, bukan hasil penilaian resmi, melainkan penawaran dari calon investor.
Menjawab pertanyaan JPU, saksi menyebut tidak ada realisasi fisik dari kesepakatan bersama terkait kerja sama infrastruktur, namun menegaskan bahwa pipa milik Isargas sepanjang 10 km memang tidak pernah digunakan pihak ketiga tanpa izin.
“Justru itu menunjukkan pelaksanaan kesepakatan, karena memang tidak boleh digunakan tanpa izin tertulis,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa selama menjabat, dirinya mengetahui seluruh proses kerja sama, termasuk aliran pendapatan. Isargas, kata Sofyan, memperoleh pendapatan sekitar USD 2,4–2,7 juta per bulan, sedangkan PGN mencapai USD 7–8 juta per bulan.
Mengenai harga jual gas, Sofyan menyebut PGN membeli gas dari Isargas seharga USD 7,4 per MMBTU, sementara harga jual ke pelanggan akhir sekitar USD 8,5 per MMBTU. Selisih harga tersebut, menurutnya, diperhitungkan dengan adanya advance payment dari PGN kepada Isargas sebesar USD 15 juta, yang akan diperhitungkan sebagai potongan tagihan gas selama enam tahun kontrak dengan total nilai sekitar USD 228 juta.
“Advance payment sebesar USD 15 juta itu kurang dari 10 persen dari nilai kontrak dan digunakan untuk menjamin kontinuitas pasokan gas,” ujar Sofyan.
Saksi juga membenarkan bahwa aset berupa pipa B dijadikan jaminan fidusia dalam perjanjian jual beli gas. Jika jaminan itu dieksekusi, kata dia, maka Isargas akan kehilangan pendapatan sekitar USD 3 juta per bulan.
Selain itu, Sofyan mengonfirmasi bahwa pada Desember 2018 terdapat surat dari Kementerian ESDM terkait peminjaman gas untuk kebutuhan tertentu.
“Itu perintah resmi pemerintah, jadi kami tidak bisa menolak,” katanya.
Terkait dugaan pemberian uang kepada pejabat PGN, saksi mengaku hanya mengetahui dari cerita rekan kerjanya bahwa pada Agustus 2017 sempat terjadi pertemuan antara Dirut Isargas Untung Yusuf dan mantan Dirut PGN Hendy Priyo Santoso di kawasan SCBD, Jakarta, yang membahas kerja sama jual beli gas dan akuisisi saham.
Sebelum menutup keterangannya, Sofyan menegaskan seluruh keputusan kerja sama dilakukan secara kolektif kolegial melalui dewan direksi, bukan keputusan pribadi.
Usai persidangan, tim kuasa hukum terdakwa Danny Praditya, FX. L. Michael Shah dan Sofyan Maulana menyampaikan sejumlah poin penting terkait keterangan saksi.
“Para saksi mengonfirmasi bahwa perjanjian jual beli gas (PJBG) antara PGN dan IAE memang benar adanya. Jadi kalau selama ini disebut fiktif, itu tidak benar. Gas benar-benar mengalir dari tahun 2019 sampai 2021,” ujarnya.
Michael menjelaskan bahwa jumlah gas yang tidak sesuai dengan perjanjian bukan karena pelanggaran, tetapi karena sebagian volume dialihkan untuk kebutuhan nasional atas permintaan pemerintah.
“Saksi juga membenarkan bahwa ketika negara meminta gas dialihkan ke petrokimia, ya itu wajib dilakukan, kalau pemerintah sudah minta tidak bisa ditolak,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa advance payment sebesar USD 15 juta bukan hutang, melainkan uang muka yang sah secara hukum untuk pembelian gas.
“Seperti jaminan pembelian. Nanti dipotong dari tagihan gas. Itu bukan hutang, bukan uang gratifikasi, advance payment itu nyata untuk membayar gas” tegasnya.
Terkait dugaan voucher USD 500 ribu kepada mantan Dirut PGN Hendy Priyo Santoso, Michael menegaskan bahwa kliennya sama sekali tidak mengetahui dan tidak menerima sepeser pun.
“Bahkan Pak Hendy sendiri tadi bersumpah demi Allah, tidak pernah menerima uang tersebut dan kliennya juga tidak tahu menahu terkait itu,” ujarnya.
Michael juga menilai bahwa PGN seharusnya melanjutkan kerja sama dengan IAE, karena perjanjian itu masih sah dan bahkan masih tercatat adanya hak tagih gas yang belum terselesaikan.
“Yang aneh, manajemen baru PGN justru tidak mengeksekusi haknya, yang sebenarnya PGN masih punya hak tagih, Sekarang malah aset juga pipa-pipanya disita oleh KPK” katanya.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa selama menjabat, Danny Praditya tidak pernah membuat keputusan sendiri karena JBPG di PGN harus dilaksanakan sesuai dengan Rapat Dewan Direksi. Ia menambahkan bahwa seluruh risalah rapat direksi (RRD) tercatat dan direkam secara resmi, sehingga dapat dibuktikan bahwa keputusan kerja sama dilakukan secara kolektif.
“Semua keputusan jual beli gas di PGN harus melalui rapat Dewan Direksi. Tanda tangan Pak Danny itu karena ex officio jabatannya sebagai Direktur Komersial, bukan karena inisiatif pribadi, PGN itu perusahaan terbuka (Tbk), bukan perusahaan sembarangan. Semua dokumen dan rekaman rapat ada, meeting pak Danny juga todak pernah ikut” tegasnya Michael.
Kuasa hukum juga menjelaskan apabila dalam penggunaan metode transaksi advance payment tersebut tidak melanggar tidak melanggar SOP PGN maupun ketentuan hukum. PGN juga telah menunjuk legal internal juga eksternal dalam mengawal transaksi tersebut. Hal ini murni sebagai keputusan bisnis yang telah disepakati.
“Dari seluruh saksi yang dihadirkan sejak awal, tidak ada satu pun yang menyatakan bahwa skema kerja sama ini melanggar hukum. Advance payment itu sah secara bisnis maupun regulasi,” pungkas Michael.
Sidang akan kembali digelar dengan agenda pemeriksaan saksi berikutnya pekan depan. Majelis hakim meminta JPU untuk menghadirkan saksi tambahan guna memperjelas mekanisme kerja sama dan penggunaan dana advance payment antara PGN dan IAE.
(AR)







