Jakarta, ebcmedia.id – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat kembali menggelar sidang perkara dugaan tindak pidana korupsi terkait pemasaran produk saving plan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dengan terdakwa Isa Rachmatarwata, mantan Kepala Biro Asuransi di Bapepam-LK periode 2006–2012, pada Selasa (4/11/2025).
Sidang yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Sunoto, SH., MH., beragendakan pemeriksaan saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Tiga saksi yang dihadirkan secara daring, antara lain:
1. Syahmirwan, mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang telah divonis bersalah dalam perkara sebelumnya,
2. Hary Prasetyo, mantan Direktur Keuangan Jiwasraya yang juga telah divonis pidana seumur hidup, dan
3. Agustin Widi Astuti, mantan karyawan Jiwasraya.
Dalam keterangannya, para saksi menjelaskan bahwa persetujuan penerbitan produk saving plan diberikan meskipun Jiwasraya sedang dalam kondisi keuangan yang tidak sehat. Saksi menyebutkan bahwa pada tahun 2004 hingga 2008, rasio kecukupan modal (RBC) Jiwasraya menunjukkan angka negatif hingga mencapai minus 580 persen, menandakan adanya defisit ekuitas yang cukup besar.
“Pada saat itu kondisi Jiwasraya memang sudah tidak sehat, namun produk baru tetap diajukan untuk mendapatkan izin pemasaran,” ujar salah satu saksi di hadapan majelis hakim.
Menurut keterangan saksi, proses penerbitan produk baru tersebut dilakukan melalui pertemuan antara direksi Jiwasraya dengan pejabat Bapepam-LK, termasuk terdakwa Isa Rachmatarwata. Meskipun mengetahui kondisi insolvensi perusahaan, Bapepam-LK tetap memberikan persetujuan atas pemasaran produk saving plan.
Skema Bunga Tinggi dan Risiko Klaim
Dalam persidangan juga terungkap bahwa produk saving plan Jiwasraya menawarkan bunga yang tinggi kepada nasabah, yakni antara 6,75 hingga 9,25 persen per tahun, dan dapat diperbarui setiap tahun. Tingkat bunga yang tidak wajar tersebut menyebabkan ketidakseimbangan antara kewajiban pembayaran klaim dengan hasil investasi yang diperoleh perusahaan.
Akibatnya, sejak 2012 hingga 2019, beban klaim Jiwasraya terus menumpuk hingga mencapai triliunan rupiah. Berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2019, akumulasi beban klaim yang harus dibayar PT AJS sangat besar, jauh melampaui kemampuan keuangan perusahaan.
“Penetapan bunga tinggi itu tentu menimbulkan risiko besar, apalagi jika tidak diimbangi dengan hasil investasi yang memadai,” jelas saksi Hary Prasetyo dalam keterangannya secara daring.
Selain soal bunga tinggi, saksi juga mengungkapkan adanya perjanjian reasuransi fiktif antara Jiwasraya dan perusahaan Provident Capital, yang disebut digunakan untuk memperbaiki tampilan laporan keuangan. Perjanjian tersebut ditandatangani pada 5 April 2010, namun secara efektif berlaku surut sejak Desember 2009.
Saksi menjelaskan bahwa perjanjian reasuransi tersebut tidak melibatkan transfer dana tunai, melainkan hanya berupa pencatatan akuntansi untuk menunjukkan seolah-olah Jiwasraya memiliki cadangan reasuransi senilai Rp2 triliun.
“Tidak ada uang tunai yang diterima Jiwasraya dalam perjanjian itu. Semuanya hanya dalam bentuk pencatatan agar laporan keuangan terlihat wajar,” ungkap saksi Syahmirwan.
Majelis hakim sempat menyoroti peran Bapepam-LK dalam memberikan izin pemasaran produk saving plan tersebut. Hakim mempertanyakan apakah lembaga pengawas keuangan itu telah menjalankan fungsi pengawasan sesuai ketentuan Pasal 6 KMK Nomor 422/KMK.06/2003, yang secara tegas melarang perusahaan asuransi memasarkan produk baru dalam keadaan insolvensi.
Menjawab hal itu, salah satu saksi mengatakan bahwa seluruh pengajuan produk baru memang harus melalui proses persetujuan dari Bapepam-LK. Namun, keputusan akhir tetap berada di tangan pejabat berwenang, termasuk terdakwa Isa Rachmatarwata.
“Setiap produk baru harus disetujui oleh Bapepam-LK, dan saat itu Pak Isa yang menandatangani persetujuan tersebut,” ujar saksi di hadapan hakim.
Dalam sidang terdahulu, Isa didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, karena diduga menyetujui pemasaran produk asuransi saving plan dengan imbal hasil tinggi antara 9–13 persen, meski mengetahui bahwa Jiwasraya dalam kondisi insolvensi atau tidak mampu memenuhi kewajiban keuangan.
(AR)

											




