Jakarta, ebcmedia.id – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kembali menggelar sidang lanjutan perkara dugaan suap hakim dalam putusan onslag perkara korupsi Crude Palm Oil (CPO), Rabu (12/11/2025).
Agenda sidang kali ini adalah pembacaan replik atau tanggapan Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas nota pembelaan (pledoi) terdakwa Muhammad Arif Nuryanta, Djuyamto, Agam Syarief, Ali Muhtarrom dan Wahyu Gunawan.

Pledoi yang di bacakan Djuyamto pada persidangan sebelumnya, hari ini ditanggapi dengan replik Jaksa yang menyatakan tetap pada surat tuntutan yang telah dibacakan pada 29 Oktober 2025 lalu. Jaksa menegaskan bahwa pengembalian uang yang dilakukan terdakwa tidak dapat dijadikan alasan yang meringankan, sebab uang tersebut merupakan hasil tindak pidana.
“Pengembalian uang oleh terdakwa memang sudah sepatutnya dilakukan karena tidak layak bagi siapapun untuk menikmati hasil tindak pidana korupsi berupa penerimaan suap,” ujar jaksa di hadapan majelis hakim.
JPU menyebut, berdasarkan fakta persidangan, terdakwa Muhammad Arif Nuryanta menerima uang suap lebih besar dibandingkan hakim lain yakni Djuyamto, Agam Syarif dan Ali Muhtarom juga menerima bagiannya. Uang tersebut berasal dari pihak Wahyu Gunawan, yang berperan sebagai perantara dana suap dari korporasi sawit, untuk mempengaruhi putusan perkara yang kemudian diputus dengan onslag atau lepas dari segala tuntutan hukum.
Jaksa menilai, seluruh dalil pembelaan yang disampaikan oleh penasihat hukum terdakwa tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan justru bertentangan dengan fakta persidangan.
“Argumentasi dalam pledoi hanya merupakan pembenaran subjektif yang tidak berdasar pada alat bukti maupun fakta hukum. Karena itu, seluruhnya patut untuk ditolak,” tegas JPU.
Jaksa juga membantah dalil pembelaan yang menuding adanya ketidakkonsistenan tuntutan pidana. Menurut JPU, penyusunan tuntutan telah mempertimbangkan derajat peran, kontribusi, serta tingkat kesalahan masing-masing terdakwa, secara proporsional dan sesuai prinsip keadilan individual.
Dalam bagian analisis yuridis, JPU menyatakan bahwa perbuatan terdakwa Djuyamto dan hakim lainnya bertentangan dengan kewajiban serta etika seorang hakim.
“Perbuatan terdakwa yang melakukan pertemuan dengan pihak berperkara merupakan pelanggaran berat terhadap prinsip integritas hakim dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan,” tegas JPU.
Tindakan tersebut, lanjut jaksa, juga bertentangan dengan upaya pemerintah mewujudkan zona integritas antikorupsidan reformasi birokrasi menuju good governance di lingkungan lembaga peradilan.
JPU menilai penerapan pasal terhadap terdakwa sudah tepat, yakni Pasal 6 ayat (2) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang penerimaan suap secara bersama-sama.
Menurut JPU, walaupun terdakwa telah mengembalikan sebagian uang, hal itu tidak menghapus kewajiban pidana tambahan berupa uang pengganti sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UU Tipikor.
“Uang pengganti merupakan bentuk pertanggungjawaban atas keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana. Negara berhak merampas aset hasil korupsi agar pelaku tidak memperoleh manfaat dari kejahatan,” ujar JPU.
Dalam repliknya, jaksa juga menanggapi permintaan pengembalian barang bukti yang diajukan penasihat hukum terdakwa. JPU menegaskan bahwa sejumlah barang bukti, seperti ponsel, buku tabungan, dan perangkat komunikasi, masih diperlukan dalam proses pembuktian terhadap terdakwa lain, termasuk Muhammad Arif Nuryanta, Djuyamto, Agam Syarif, Ali Muhtarom, dan Wahyu Gunawan, yang ditangani dalam berkas perkara terpisah. Karena itu, JPU meminta majelis hakim agar tidak mengabulkan permohonan pengembalian barang bukti tersebut.
Menutup pembacaan repliknya, JPU menegaskan permohonan agar majelis hakim menolak seluruh materi nota pembelaan terdakwa dan penasihat hukumnya, serta menjadikan replik ini sebagai satu kesatuan pertimbangan hukum dalam menjatuhkan putusan.
“Penuntut umum memohon kepada majelis hakim untuk menyatakan terdakwa Djuyamto terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi menerima suap secara bersama-sama sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2) juncto Pasal 18 UU Tipikor,” kata JPU menutup pembacaan replik.
Sidang akan dilanjutkan pada pekan depan dengan agenda duplik atau tanggapan balik dari pihak terdakwa.
(AR)









