Jakarta, ebcmedia.id – Suasana ruang sidang Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kembali memanas dalam perkara dugaan pelanggaran pemasangan patok di area izin usaha milik PT Position, Rabu (12/11/2025).
Dua terdakwa, Awwab Hafizh (Kepala Teknik Tambang) dan Marsel Bialembang (Mining Surveyor PT Wana Kencana Mineral/WKM), menghadapi dakwaan jaksa terkait dugaan pelanggaran di kawasan hutan.
Dalam sesi wawancara seusai sidang, tim kuasa hukum terdakwa, Prof. Dr. Otto Cornelis Kaligis, S.H., M.H., bersama Dr. Rolas Budiman Sitinjak, S.H., M.H. menilai perkara ini telah keluar dari konteks hukum yang seharusnya juga penuh kejanggalan dan merupakan bentuk kriminalisasi terhadap pelaku usaha yang justru menjadi korban tumpang tindih izin.

“Ini perkara perdata yang dikriminalisasi. Fakta di persidangan jelas menunjukkan tidak ada pelanggaran pidana. Ahli kehutanan kami bahkan membuktikan bahwa kegiatan di lokasi tidak memenuhi unsur tindak pidana, melainkan persoalan administratif izin,” tegas OC Kaligis
Ia menyoroti keanehan kasus, di mana pembukaan lahan sedalam 15 meter justru dijadikan dasar dakwaan pidana. Menurutnya, patok lahan yang menjadi objek perkara tidak menyalahi aturan, dan ketiadaan batang kayu di lokasi memperkuat dugaan bahwa tidak ada aktivitas kehutanan yang dilanggar. Ia juga menyindir pihak-pihak yang kerap mangkir dari sidang dengan alasan sakit.
“Itu bukan penebangan kayu, itu pengambilan tanah. Kalau ada jalan sedalam itu, pasti bukan jalan hutan. Jadi siapa yang sebenarnya diuntungkan dari semua ini?dan Setiap kali kami mau konfrontasi, yang bersangkutan sakit. Sakit apa? Sakit pikirannya kali” jelas OC Kaligis dengan nada sindir.
Senada, Rolas Sitinjak menjelaskan bahwa berdasarkan hasil analisis ahli kehutanan yang dihadirkan pembela, perjanjian antara PT WKS dan PT Position telah batal demi hukum.
“Yang mereka sepakati bukan jalan lama (existing road), tapi jalan baru yang jelas-jelas tidak sesuai regulasi kehutanan. Ahli kami menunjukkan peta citra satelit dan di sana terbukti, kawasan itu masih hutan perawan yang belum pernah dibuka,” ujar Sitinjak.
Ia menambahkan, izin penebangan di wilayah tersebut baru berlaku sejak 2022, sehingga menurut ketentuan, baru dapat ditebang kembali pada 2037. Karena itu, segala bentuk pembukaan lahan saat ini dikategorikan melawan hukum.
“Jadi ini bukan upgrading jalan lama, melainkan pembukaan baru. Kalau pun ada pihak yang menambang di situ, itu jelas ilegal. Tapi yang diadili malah orang yang menegakkan aturan,” katanya.
Dalam sidang, ahli kehutanan dari Bada Riset dan Inovasi Nasional, Lutfi Abdullah, memberikan keterangan tegas. Ia menyebut, dari hasil pengamatan foto udara, jalan di lokasi bukan merupakan jalan kehutanan, melainkan bukaan baru yang tidak termasuk dalam rencana RKT 2024 milik PT WKS.
“Jalan kehutanan itu tidak bisa dibangun dengan cara menebas kontur curam. Kalau dibuat seperti itu, akan menimbulkan longsor dan kerusakan ekologis,” ujar Lutfi di hadapan majelis hakim.
Ia menjelaskan bahwa dalam kehutanan, pembukaan jalan harus mengikuti kontur tanah dengan kemiringan maksimal tertentu dan memperhatikan penataan tanah hasil galian di kiri-kanan jalur. Namun dari video yang ditunjukkan di persidangan, alat berat justru mengeruk tanah dalam-dalam dan mengangkutnya keluar area, menandakan kegiatan serupa aktivitas tambang.
“Kalau jalan kehutanan, tanah tidak dibawa keluar. Tapi di sini, saya lihat tanah diangkut dan dibuang. Itu bukan jalan hutan,” tambahnya.
Ahli Lutfi Abdullah menguraikan hasil pengawasan menggunakan drone dan citra satelit beresolusi tinggi. Menurutnya, citra antara Februari hingga Juni 2024 menunjukkan belum ada pembukaan jalan, namun pada Agustus 2024 tampak jelas aktivitas pembangunan baru di luar area RKT.
“Citra udara memperlihatkan vegetasi yang berubah drastis setelah Juli 2024. Tidak ada bukaan sebelumnya di lokasi itu, artinya ini bukan perbaikan (upgrading), tapi pembangunan baru,” jelasnya.
Dalam pemeriksaan silang, jaksa dan hakim menyoroti perbedaan antara jalan kehutanan dan jalan tambang. Ahli menjelaskan bahwa secara kualitas, keduanya mungkin tampak serupa, tetapi secara teknis sangat berbeda.
“Jalan untuk mengangkut kayu dibuat landai dan berliku, kemiringan maksimal 12 derajat. Tapi jalan tambang bisa curam dan dalam karena tujuannya mengambil material,” ujar Lutfi.
Ahli juga menguraikan mekanisme hukum mengenai izin kehutanan. Ia menjelaskan bahwa kegiatan di kawasan hutan hanya dapat dilakukan oleh pemegang PBPH (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan) yang sah dan telah mengantongi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).
“Kalau belum punya IPPKH, tidak boleh ada aktivitas apa pun, termasuk memasang patok batas,” tegasnya.
Menurutnya, pemegang IUP (izin usaha pertambangan) tidak memiliki kewenangan di dalam kawasan hutan tanpa IPPKH. Karena itu, bila perusahaan tambang memasang patok di area kehutanan, tindakan itu tidak sah secara hukum.
“Hukum kehutanan tidak mengizinkan pembukaan jalan baru karena bisa memecah hutan. Jadi kalau kerja samanya untuk jalan baru, otomatis melanggar,” ujarnya.
Dalam bagian akhir wawancara, Kaligis menyoroti bahwa kasus ini berpotensi mengalihkan fokus dari dugaan tambang ilegal yang sesungguhnya. Ia menyebut adanya pihak-pihak yang menambang nikel di kawasan tanpa izin resmi, bahkan memperkenalkan istilah “pelakor” (penambang lahan koridor) untuk menggambarkan fenomena itu.
“Yang nambang nikel ilegal itu dibiarkan. Yang diproses malah orang yang pasang patok di area izin. Ini kebalik,” ujarnya sinis.
Sitinjak menambahkan, bukti visual dari aparat Gakkum KLHK menunjukkan adanya galian hingga 15 meter di area hutan, indikasi kuat aktivitas pertambangan.
“Kalau itu disebut jalan hutan, logikanya di mana? Gunung dibelah, tanah diangkut. Itu jelas tambang,” katanya.
Menutup pernyataannya, OC Kaligis menyerukan agar Presiden Prabowo dan aparat penegak hukum turun langsung meninjau lokasi tambang ilegal di Maluku Utara.
“Presiden perlu lihat sendiri. Di sana, tambang ilegal itu nyata. Jangan sampai hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas,” ucapnya.
Prof OC Kaligis juga menuntut agar semua pihak yang memiliki izin tumpang tindih di kawasan hutan diperiksa secara adil dan transparan.
“Kami hanya ingin fair play. Jangan jadikan hukum sebagai alat menekan yang lemah,” pungkasnya dengan tegas.
(AR)









