Revisi Perpres Energi Disorot: IESR Nilai Kebijakan Baru Bisa Naikkan Emisi dan Turunkan Daya Saing Industri

oleh
oleh
banner 468x60

Jakarta, ebcmedia.id – Pemerintah tengah menyusun revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 mengenai percepatan pengembangan energi terbarukan. Dalam proses revisi tersebut, sejumlah poin mulai menjadi sorotan, termasuk wacana pelonggaran syarat pembangunan PLTU batu bara baru serta rencana pengaturan pembangkit listrik tenaga hibrida (PLT Hibrida) yang memungkinkan kombinasi energi fosil dan energi terbarukan.

Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai dua usulan tersebut justru berpotensi mengganggu arah kebijakan energi nasional. IESR menilai revisi ini dapat memicu kenaikan biaya listrik, menurunkan daya saing industri, hingga meningkatkan risiko aset fosil mangkrak serta menghambat proses transisi energi.

Alasan membangun PLTU batu bara baru demi menjaga keandalan sistem juga bertentangan dengan ambisi dan perintah Presiden Prabowo yang menargetkan penggunaan 100% energi terbarukan dalam sepuluh tahun ke depan.

Alasan Keandalan Sistem Disebut Tidak Sejalan dengan Target Energi Bersih

Alasan pemerintah yang menyebut pembangunan PLTU baru diperlukan untuk menjaga keandalan sistem dipandang bertolak belakang dengan komitmen Presiden Prabowo Subianto yang menargetkan penggunaan 100% energi terbarukan dalam satu dekade ke depan.

IESR menegaskan bahwa keandalan listrik tidak harus ditopang oleh penambahan PLTU.

Menurut mereka, ekspansi jaringan transmisi, optimalisasi panas bumi dan hidro, serta pemanfaatan energi surya dan angin yang dipadukan dengan sistem penyimpanan energi (energy storage) dapat menjadi solusi yang lebih sesuai arah transisi energi.

Lebih jauh, IESR juga menunjukkan bahwa keberadaan PLTU tidak selalu menjamin keandalan. Salah satu contohnya adalah pemadaman listrik di Pulau Timor pada November 2025 akibat gangguan di unit PLTU Timor.

Fabby Tumiwa: Revisi Perpres Harus Selaraskan Komitmen JETP dan Arah Presiden

CEO IESR Fabby Tumiwa menegaskan bahwa revisi Perpres seharusnya memperkuat komitmen penghentian PLTU, bukan justru membuka ruang baru bagi pembangunannya.

“Indonesia telah menyepakati Just Energy Transition Partnership (JETP) yang menargetkan 34 persen bauran energi terbarukan pada 2030 oleh pemerintah sebelumnya. Di berbagai kesempatan Presiden Prabowo kerap menyebutkan komitmennya untuk mengakhiri PLTU batu bara dalam 10-15 tahun ke depan. Adanya rencana kebijakan yang permisif terhadap pembangunan PLTU akan menurunkan kredibilitas Indonesia dan memberikan sinyal negatif investasi karena tidak konsisten dengan aspirasi transisi energinya,” kata Fabby, Jumat (14/11/2025).

Ia menambahkan bahwa pemerintah perlu melarang pembangunan PLTU baru, termasuk PLTU terintegrasi dengan industri, mulai 2025, serta memperkuat ketentuan penghentian operasional PLTU pada 2050.

Risiko PLT Hibrida: Perpanjang Masa Hidup Fosil dan Tingkatkan Emisi

IESR juga mengkritisi rencana memasukkan PLT Hibrida dalam revisi Perpres. Menurut mereka, skema pembangkit yang mencampurkan energi fosil dan energi terbarukan justru dapat memperpanjang ketergantungan pada energi fosil dan meningkatkan emisi gas rumah kaca.

Manajer Program Transformasi Sistem Energi IESR, Deon Arinaldo, menyatakan bahwa melonggarkan pembangunan PLTU akan menaikkan intensitas emisi listrik Indonesia yang saat ini berada di level 0,85–0,87 kgCO₂e/kWh.

“Lonjakan emisi di sektor ketenagalistrikan akan berimbas pada turunnya daya saing industri yang sedang dituntut melakukan efisiensi dan elektrifikasi untuk menurunkan jejak karbon produknya. Produk Indonesia berisiko kalah bersaing di pasar global, termasuk ekspor Uni Eropa yang telah menerapkan standar emisi ketat. Kondisi ini bisa menghambat target pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8%,” jelas Deon.

Ia juga memperingatkan bahwa perusahaan multinasional, terutama anggota RE100 yang menargetkan penggunaan 100% energi terbarukan, berpotensi menahan ekspansi atau hengkang dari Indonesia apabila ketergantungan pada fosil terus dipertahankan.

IESR Dorong Pemerintah Kembali pada Jalur Transisi Energi

Sebagai rekomendasi, IESR mendesak pemerintah tetap berpegang pada komitmen penghentian operasi PLTU pada 2050 serta melanjutkan program pensiun dini PLTU yang sudah tua. IESR juga meminta pemerintah mempercepat pengembangan energi terbarukan, memperluas sistem penyimpanan energi, dan meningkatkan pembangunan jaringan listrik untuk menjaga keandalan sistem selama proses transisi berlangsung.

(Dhii)

No More Posts Available.

No more pages to load.