Jakarta, ebcmedia.id – Hingga penghujung 2025, dorongan pemerintah untuk melakukan transisi energi dinilai belum bergerak signifikan. Meski komitmen menuju energi bersih terus disuarakan selama satu dekade terakhir, ketergantungan Indonesia pada energi fosil justru semakin kuat dan menghambat target-target nasional.
Dalam laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2026 bertajuk “Rhetoric or Reality: Aligning Economic Growth with Energy Transition”, yang dirilis pada Kamis (20/11/2025), Institute for Essential Services Reform (IESR) menegaskan bahwa Indonesia telah gagal mencapai target bauran energi terbarukan selama sembilan tahun berturut-turut. Target 23 persen pada 2025 yang ditetapkan sejak 2014, hingga pertengahan 2025 baru menyentuh kisaran 16 persen.
IESR memperingatkan, tanpa perubahan arah yang tegas, skenario pembangunan berbasis fosil akan membawa konsekuensi berat. Proyeksi lembaga itu menunjukkan bahwa jika ketergantungan pada energi kotor dipertahankan, pertumbuhan ekonomi 8 persen pada 2029 justru akan memicu kenaikan emisi hingga 17 persen pada 2040 dan membuat pencapaian net-zero emission 2060 semakin mahal dan sulit.
Paradoks Indonesia di Tengah Sumber Energi Bersih Melimpah
CEO IESR, Fabby Tumiwa, menilai Indonesia menghadapi paradoks besar karena enggan meninggalkan energi fosil, padahal memiliki potensi energi terbarukan yang signifikan dan biaya yang semakin kompetitif.
“Transisi energi Indonesia berjalan lambat yang disebabkan oleh tiga hambatan struktural, yaitu kerangka peraturan yang tidak koheren, kebijakan fiskal yang justru memberi insentif pada energi fosil, serta fragmentasi institusi,” ujar Fabby.
“Ketidakmampuan pemerintah mengatasi hambatan ini menghambat pengembangan energi terbarukan dan memperburuk iklim investasi energi bersih,” sambung Fabby.
Fabby menegaskan pemerintah perlu bergerak lebih agresif. Ia menyoroti pentingnya reformasi kebijakan, restrukturisasi industri kelistrikan, keputusan menghentikan pembangunan PLTU baru, hingga penyediaan instrumen pendanaan energi bersih.
Bauran Energi Terbarukan Justru Menurun
Analis Sistem Ketenagalistrikan IESR, Abraham Octama Halim, memaparkan bahwa kebutuhan listrik nasional meningkat pesat antara 3 hingga 10 persen per tahun. Namun pertumbuhan permintaan itu tidak diikuti percepatan energi terbarukan.
Menurutnya, sejumlah simulasi yang dilakukan di Pulau Timor dan Sumbawa menunjukkan bahwa sistem kelistrikan berbasis 100 persen energi terbarukan dominan PLTS dan baterai, bahkan dapat menurunkan biaya pembangkitan hingga 3–21 persen.
“Alih-alih meningkat, bauran energi terbarukan di sistem on-grid justru turun dalam lima tahun terakhir. Dari 13 persen pada 2020 menjadi 11,5 persen pada 2024,” ungkap Abraham.
“Ini menunjukkan adanya kesenjangan besar antara potensi yang melimpah, rencana pemerintah, dan realisasi proyek di lapangan,” lanjutnya.
Transition Readiness Framework (TRF) yang dikembangkan IESR menunjukkan empat dari sebelas faktor pendukung transisi energi termasuk kebijakan, kepemimpinan, dan investasi, masih berada pada kategori rendah.
Sementara itu, subsidi energi fosil melesat tajam. Akumulasi subsidi pada periode 2022–2026 diperkirakan mencapai Rp 1.023 triliun, berbanding terbalik dengan investasi energi terbarukan yang tidak mencapai target.
Analis Finansial dan Ekonomi IESR, Putra Maswan, menambahkan bahwa anggaran energi terbarukan di tingkat provinsi pada 2025 hanya Rp 426,7 miliar dari 33 provinsi.
“Minimnya anggaran membuat daerah kesulitan membangun infrastruktur energi bersih. Dampaknya, bauran energi terbarukan tetap rendah,” kata Putra.
Ia mencontohkan Bali, yang baru mencapai kurang dari 3 persen dari target 11 persen pada 2025, meski memiliki potensi tenaga surya hingga 21 GW.
Rekomendasi IESR: Tentukan Arah, Hapus Hambatan
Untuk mempercepat transisi energi, IESR mengeluarkan enam rekomendasi strategis:
1. Menyusun rencana pensiun energi fosil yang jelas dan terukur.
2. Melakukan reformasi kelembagaan dan regulasi.
3. Memperluas pemanfaatan PLTS, PLTB, dan sistem baterai.
4. Mengembangkan industri di wilayah dengan pasokan energi bersih (low-carbon powershoring).
5. Memperkuat pembiayaan energi terbarukan dan mengurangi subsidi fosil.
6. Mendorong keterlibatan publik secara bermakna.
IESR menegaskan bahwa momentum penurunan biaya energi terbarukan, tumbuhnya industri pendukung seperti kendaraan listrik dan baterai, serta ketersediaan proyek siap bangun harus dimanfaatkan sebagai bahan bakar utama transformasi energi nasional.
(Dhii)








