Jakarta, ebcmedia – Sorotan tajam kembali tertuju pada cara aparat penegak hukum menjerat pelaku korupsi dengan delik “merugikan keuangan negara.” Pertanyaan utama muncul: mengapa pasal ini terus digunakan meski sudah banyak kritik, bahkan setelah putusan Mahkamah Konstitusi membatasi tafsirnya?
Dalam kasus Tom Lembong, eks Menteri Perdagangan, misalnya, Kejaksaan Agung menjeratnya terkait impor gula kristal saat surplus, yang ditaksir merugikan negara Rp 700 miliar. Ini memakai Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor (UU PTPK). Namun, menurut pengamat, pendekatan hukum ini sering melonggarkan makna “melawan hukum” dan “kerugian negara.”
Pasal Karet dan Tafsir Bebas
Menurut pakar, delik korupsi sering memakai unsur abstrak, seperti “melawan hukum” dan “merugikan negara,” yang rawan ditafsirkan terlalu bebas. Aparat cenderung menyamakan setiap penyimpangan administratif sebagai tindakan pidana. Padahal, hukum pidana menuntut perbuatan yang nyata-nyata melawan hukum, bukan sekadar pelanggaran administratif.
Sejumlah akademisi, termasuk Hiariej (2015), menegaskan perlunya standar ketat dan pembuktian yang jelas agar hukum pidana tak jadi alat memukul lawan politik. Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 juga menegaskan bahwa kerugian negara harus nyata dan pasti, bukan sekadar potensi.
Klasifikasi Kerugian Negara
Menariknya, kerugian negara dalam konteks hukum administrasi berbeda dengan yang dimaksud UU Tipikor. Tidak semua kerugian lembaga negara otomatis disebut “kerugian negara” dalam kerangka pidana. Sebagai contoh, kerugian akibat wanprestasi bisnis atau kesalahan prosedural administratif tidak serta-merta jadi unsur pidana korupsi.
Aparat penegak hukum dinilai kerap mencampuradukkan antara kesalahan administratif dan perbuatan melawan hukum pidana, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Padahal, sebagaimana dikemukakan dalam berbagai kajian internasional, termasuk UNCAC, pemidanaan korupsi harus dibatasi pada kesengajaan yang merugikan negara, bukan sekadar salah urus atau maladministrasi.
Koreksi Mendalam Dibutuhkan
Hendry Julian Noor mengatakan perlunya koreksi menyeluruh atas praktik pemberantasan korupsi di Indonesia. Tanpa pembenahan, delik korupsi bisa menjadi senjata politik atau alat tekanan, bukan sekadar instrumen penegakan hukum. Hal ini semakin penting karena dampaknya bukan hanya kepada pejabat, tapi juga publik luas yang berharap pada keadilan hukum.
Masyarakat perlu lebih memahami batasan dan unsur hukum yang sah dalam menilai sebuah kasus korupsi. Tidak semua kesalahan pejabat harus berujung pidana, apalagi bila hanya berkaitan dengan urusan administratif yang tidak memunculkan kerugian nyata bagi negara.
(Dhii)