Saksi BKI: Usia Kapal Bukan Penentu Kelayakan dalam Bisnis Pelayaran

oleh
oleh
banner 468x60

Jakarta, ebcmedia.id – Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) oleh PT ASDP Ferry Indonesia kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Kamis (28/8/2025). Salah satu saksi yang dihadirkan, Ardhian Budi dari PT Biro Klasifikasi Indonesia (BKI), menegaskan bahwa usia kapal tidak bisa dijadikan ukuran dalam menentukan kelayakan operasional.

“Umur kapal bukanlah ukuran dalam bisnis pelayaran. Ukurannya adalah apakah kapal layak jalan atau tidak,” ujar Ardhian di hadapan majelis hakim.

Ia menambahkan, meskipun kapal tergolong tua, hal itu tetap memiliki nilai ekonomis apabila memiliki sertifikat laik layar.

“Ada kapal yang usianya 50 tahun dan masih laik jalan. Selama memiliki sertifikat laik layar, kapal itu sah beroperasi,” katanya.

Pernyataan ini sekaligus meluruskan dakwaan jaksa yang menyebut mayoritas kapal PT JN sudah tua dan sebagian tidak layak jalan. Bahkan, jaksa menyebut ada kapal yang karam.

“Kapal yang rusak (atau kandas) bukanlah kapal rongsok karena kalau dimaintain dan diperbaiki bisa berlayar lagi,” tegas Ardhian yang mewakili BKI.

Sementara itu, kuasa hukum terdakwa, Soesilo Ariwibowo, juga membantah tudingan adanya kapal karam. Menurutnya, kapal yang disebut karam hanya mengalami kandas.

“Karam itu artinya tenggelam di air. Kalau kandas, itu terdampar, dan kapal Musi yang dimaksud sudah kembali beroperasi setelah diperbaiki,” ujar Soesilo.

Dalam perkara ini, mantan Direktur Utama PT ASDP, Ira Puspadewi, bersama dua mantan direksi lainnya yakni Harry Muhammad Adhi Caksono serta Muhammad Yusuf Hadi, didakwa merugikan negara hingga Rp 1,27 triliun.

Sidang kali ini juga menghadirkan saksi lain, yaitu Muhammad Ridhwan dari konsultan SMI dan Heribertus Eri dari Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) SSR. Eri mengaku sempat terkejut dengan detail penilaian aset PT JN yang dilakukan oleh KJPP MBPRU.

“Saya kaget. Penilaian mereka sangat detail, bahkan sampai menanyakan ke petugas loket tiket,” ungkapnya.

Eri menjelaskan, KJPP MBPRU menggunakan dua pendekatan dalam menilai aset, yaitu metode penjualan dan metode pendapatan. Hasil valuasi MBPRU menyebut nilai 53 kapal PT JN mencapai Rp 2,09 triliun. Namun, hasil tersebut berbeda dengan penilaian ulang KJPP SSR yang hanya menaksir total aset kapal sekitar Rp 1,34 triliun.

Meski demikian, PT ASDP akhirnya membeli PT JN seharga Rp 1,27 triliun, yang meliputi kapal, izin trayek, sumber daya manusia, serta seluruh saham. Harga tersebut 40 persen lebih rendah dibanding valuasi MBPRU yang hanya menghitung kapal saja.

Menanggapi pertanyaan jaksa soal dugaan negosiasi harga sebelum laporan valuasi final selesai, Eri menegaskan bahwa ASDP menggunakan laporan survei sementara yang sudah lebih dulu disampaikan.

“Laporan final memang baru selesai akhir Oktober 2020, tapi angka-angka yang ada di laporan awal dan akhir sama,” jelas Eri.

Sidang akan berlanjut pekan depan dengan agenda pemeriksaan saksi lainnya.

(Dhii)

No More Posts Available.

No more pages to load.